Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Denny JA: Tiga Alasan yang Sebabkan UU Pemilu Bermasalah

Konsultan politik Denny JA menilai Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan DPR memiliki "cacat fundamental".

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Denny JA: Tiga Alasan yang Sebabkan UU Pemilu Bermasalah
Priyombodo
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konsultan politik Denny JA menilai Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan DPR memiliki "cacat fundamental".

Seperti diketahui, UU Pemilu mengatur pemilu serentak bagi Presiden dan DPR. UU ini juga menggunakan perolehan suara partai di pemilu 2014 sebagai basis untuk ambang batas capres 2019.

UU Pemilu yang baru disahkan DPR, kata Denny cacat untuk tiga nilai utama demokrasi.


"Pangkal utama cacat dari undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2017," katanya dalam siaran pers yang diterima, Rabu (26/7).

Menurut pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini ada tiga hal mengapa UU Pemilu 2017 itu disebut cacat. Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik. Undang-undang Pemilu memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kali akan ikut pemilu di tahun 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak yang sama kepada partai baru itu untuk menentukan calon presiden.

"Basis dukungan yang dihitung untuk presidential threshold pemilu 2019 hanya milik partai lama, yang ikut pemilu di tahun 2014 saja," cetusnya.

Berita Rekomendasi

Kedua, UU Pemilu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya.

Situasi politik dan ekonomi, serta kesadaran warga sudah sangat mungkin berbeda. Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa pula berubah justru menjadi musuh utamanya.

"Itu sebabnya mengapa dukungan partai itu berubah pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada tahun 1999 mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir separuhnya saja yakni di bawah 19%," lanjutnya.

Ketiga, ambang batas Presiden (Presidential Treshold) 20-25% sebagai syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan pula desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Tetap dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidentialisme.

"Kenyataannya, ambang batas capres itu justru memperlemah sistem presidential murni. Ia justru mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis pencalonan capres justru posisinya dibuat oleh UU ini bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di parlemen," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas