Kenang Peristiwa 27 Juli, PDIP Gelar Tahlilan
Peristiwa 27 Juli 1996, bukan sekedar peristiwa perlawanan. Saat rakyat duduk serta tekun mendengarkan mimbar demokrasi
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Peristiwa 27 Juli 1996, bukan sekedar peristiwa perlawanan. Saat rakyat duduk serta tekun mendengarkan mimbar demokrasi,mendengarkan suara- suara protes ketika itu.Di satu sisi rakyat meminta hak berpolitiknya.
Tapi, perlawanan itu bukan perlawanan yang keras, tapi perlawanan yang menyadarkan Megawati Soekarnoputri memilih, berdiri di garis hukum. Hukum serta sikap adil, kebenaran akan terbuka.
Demikian disampaikan Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat menyampaikan sambutan dalam rangka peringatan serangan 27 Juli, di Kantor DPP PDI Perjuangan Jln. Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2017) malam.
Untuk mengenang peristiwa Kudatuli itu, PDIP menggelar tahlilan, pembacaan surat yasin, dan pembacaan sholawat yang diikuti berbagai elemen masyarakat. Khususnya dari pengurus PDIP mulai dari DPP, DPD, DPC, hingga pengurus ranting. Sejumlah pengurus pusat PDIP juga tampak hadir.
Peristiwa 27 Juli 1996 atau masyarakat mengenangnya sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Partai Demokrasi Indonesia yang kelak kemudian berubah menjadi PDI Perjuangan.
"Hari ini kita mengenang 27 Juli, mengenang kilasan kisah silam di masa lalu, mengenang semangat kita, dengan air mata yang berlinang. Kemenangan politik yang direbut oleh PDI Perjuangan, bukanlah sesuatu yang turun tiba-tiba dari atas langit," kata Hasto.
"Tetapi, sesuatu yang diperjuangkan,inci demi inci sejarah. Karena dari situlah Partai kita mampu berdiri dengan kesadaran yang kuat, Konstitusi adalah sesuatu yang paling sakral dalam menentukan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara," tambah Hasto.
Peristiwa 27 Juli, lanjutnya, menciptakan semangat bagi partai. Mmembangun peradaban yang berdasarkan pada nilai nilai penghormatan atas kemanusiaan.
"Karena kita telah mengalami bagaimana kita berpolitik, dihina, dimaki maki, dirusak rasa kemanusiaan kita oleh penguasa. Ini bukan rasa dendam yang kita balas, tapi kita membalas dengan perbuatan baik," Hasto mengingatkan.
"Perbuatan baik dalam berpolitik mendorong adanya perubahan mendasar tentang bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara harus dijalankan," lanjutnya.
Peristiwa 27 Juli 1996 harus memberikan ruang terang bagi demokrasi yang adil,mengajarkan nilai-nilai kebenaran. Kemudian nilai nilai musyawarah dan mufakat. "Dan bukan saling tikam dan terjang, bukan demokrasi main kayu’," tambah Hasto.
Semangat 27 Juli, adalah semangat rakyat yang ingin bersuara. Rakyat bukanlah alat pembangunan. Akan tetapi, rakyat adalah subjek pembangunan.
"21 tahun sudah peristiwa itu berlalu, seperti kemarin saja rasanya, sesak nafas bila mengingat saudara saudara kita yang mempertaruhkan nyawa untuk perjuangan menegakkan demokrasi," ungkap Hasto.
Kesedihan, kenangan-kenangan pahit atas peristiwa itu, Hasto mempertegas, dibayar dengan memenangkan nilai-nilai kebenaran dalam demokrasi. Memenangkan nilai-nilai musyawarah mufakat dalam kehidupan gotong royong.
"Dan kita bertanggung jawab untuk masa depan Indonesia, agar jangan sampai muncul pemerintahan tirani tanpa hati nurani. Yang menginjak nginjak nilai nilai kemanusiaan. PDIP berdiri diatas puing-puing rasa sakit itu.Tugas sejarah-lah, PDIP membangun nilai nilai demokrasi yang menghormati kemanusiaan,"Hasto menegaskan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.