Terpidana Bebas ke Luar Negeri, Anggota DPR: Hukum Dipermainkan
Kendati Pengadilan Negeri Surakarta telah memvonisnya delapan tahun penjara, jaksa belum juga mengeksekusi Robby Sumampouw sehingga bebas melenggang.
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kendati Pengadilan Negeri Surakarta telah memvonisnya delapan tahun penjara, jaksa belum juga mengeksekusi Robby Sumampouw sehingga bebas melenggang.
Pengusaha kenamaan itu oleh Pengadilan Negeri Surakarta dijatuhi hukuman delapan tahun penjara pada Oktober 2012 lalu karena terbukti memalsukan akta Yayasan Bhakti Sosial Surakarta (YBSS) yang ia kelola bersama sejumlah pengusaha lain di Solo.
Vonis terhadap Robby juga diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Jateng. Mahkamah Agung turut menguatkan putusan tingkat pertama dan kedua.
Robby dinilai melanggar Pasal 266 Ayat 1 dan 2 junto Pasal 55 Ayat 1 KUHP tentang pemalsuan akta autentik. Dia dinyatakan bersalah karena memerintahkan membuat keterangan palsu dalam akta YBSS Nomor 55 pada Juli 2008 lalu.
Menurut catatan Imigrasi sejak Januari 2016 sampai dengan 2017, ada 92 kali perjalanan yang dilakukan Robby. Fakta ini membuktikan yang bersangkutan tak pernah di Indonesia guna menjalani eksekusi.
Ini artinya, klaim Kejaksaan bahwa Robby sudah dieksekusi tak terbukti, karena terpidana nyata pergi ke luar negeri berkali-kali.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii menilai terpidana yang bebas pergi keluar negeri, meski sudah inkrah, menjadi bukti hukum di negara ini dipermainkan oleh segelintir orang.
Ini juga jadi bukti, lembaga penegak hukum, hanya tajam ke rakyat kecil, kepada mereka yang memiliki kedekatan kekuasaan, hukum sangat tumpul.
"Saya pikir dalam kasus ini sudah menunjukkan kegagalan Pemerintah untuk menjalankan sebuah negara yang berkeadilan. Karena pemerintah tidak menegakkan hukum yang adil," tegas Syafii di Jakarta, Minggu (30/7/2017).
Menurut dia, banyak kasus lain, yang mirip Robby, di mana terpidana bebas keluar negeri. Seharusnya pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk bertindak adil dan tegas kepada siapa pun jika terbukti bersalah.
"Saat ini negara ini bukan lagi negara hukum, karena hukum sekarang seperti dimainkan oleh peguasa," tegas dia.
Syafii menilai Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara darurat hukum yang berkeadilan. Sebab, penegakan hukum sudah tidak fair lantaran hanya menyasar rakyat kecil.
Jika mengacu pasal 27 UUD 1945 bahwa semua warga negara secara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta juga wajib menjunjung tinggi hukum semestinya pembiaran seperti ini tidaklah boleh terjadi.
"Dalam kasus Robby ini jelas menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menjalankan sebuah negara karena tidak menegakan hukum yang adil," tegas dia.
Dihubungi terpisah, pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakkir, menilai catatan perjalanan dari imigrasi itu patut diduga telah terjadi pembiaran pada terpidana karena bebas pergi keluar negeri.
"Terkait dengan terpidana (Roby Sumampau) yang bolak-balik ke luar negeri, padahal dia berstatus terpidana, harus ada status cekal dari pihak kejaksaaan," tegas Mudzakkir.
Menurut Mudzakkir, jika kemudian cekal itu dikeluarkan jaksa, namun terpidana melenggang bebas, maka pihak imigrasi harus diperiksa.
"Jika seperti itu, boleh jadi ada pembiaran. Hal itu yang harus ditegaskan. Bila sebaliknya, Kejaksaan tidak pernah keluarkan cekal, maka artinya ada pembiaran dari Kejaksaan," dia menambahkan.
Tidak kunjung ditahannya Robby memperlihatkan hukum hanya jadi alat main-main saja di mata publik. Akibatnya, hukum bagi pejabat negara dan pengusaha, tidak bisa tajam ke atas, tapi selalu bengkok alias tumpul sendiri.
Selama ini, hukum bagi orang-orang kecil sangat ganas dan keras ditegakkannya, bahkan tanpa ampun. Namun, tidak berlaku bagi pengusaha, apalagi yang dekat dengan kekuasaan.
"Kejaksaan tidak bisa pilih-pilih. Tidak kunjung ditahannya pengusaha Robby memperlihatkan hukum hanya jadi alat main-main saja di mata publik," ucap dia.
Ia berharap kejaksaan profesional menangani perkara yang menjadi sorotan publik. Jangan sampai ada kesan Kejaksaan tebang pilih kasus sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.
Jika sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka jaksa harus mematuhi melaksanakan putusan.
Pada Senin (12/6/2017), Jaksa Agung HM Prasetyo saat berbuka puasa bersama KPK dan Komisi III DPR sudah mengingatkan agar para jaksa di daerah tak bertindak nakal. Apalagi setelah ada kasus tangkap tangan oleh KPK.
Prasetyo mengatakan jangan sampai ada lagi pelanggaran hukum dilakukan oleh jaksa. Menurut Jaksa Agung, sekecil apa pun penyimpangan oleh jaksa, dan sesedikit apa pun oknum jaksa yang menyimpang, ia setuju dilakukan penindakan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.