PSI: UU Pemilu Tidak Pro Perempuan
UU Pemilu yang baru disahkan mengabaikan hak dan kepentingan perempuan pada tingkatan provinsi kabupaten/kota dan kecamatan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah mengajukan permohonan Judicial Review (JR) Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/8/2017) kemarin, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengajak LSM Perempuan dan Ormas Perempuan Islam di Indonesia turut mengajukan JR Pasal 173 Ayat 2 UU Pemilu No 7/2017.
Menurut Grace Natalie, PSI telah mengirim permohonan JR ke MK mengenai Pasal 173 ayat (2) huruf e terkait ketentuan syarat untuk dapat menjadi peserta pemilu partai politik hanya mewajibkan penyertaan keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik paling sedikit 30% pada kepengurusan tingkat pusat.
“PSI adalah partai politik yang selama ini memperjuangkan kesetaraan sosial dan politik bagi perempuan Indonesia untuk dapat seluas-luasnya berpartisipasi dalam struktur partai politik. PSI merasa terzalimi dengan pembatasan hak-hak Perempuan dalam UU Pemilu,” jelas Grace Natalie dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (23/8/2017).
Grace mengajak seluruh aktivis perempuan, LSM Perempuan, dan organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, Muslimat NU, Fatayat NU dan lain-lain agar melakukan JR Undang-undang tersebut.
Menurut Grace, menempatkan perempuan minimal 30% di pengurus partai di setiap level kepemimpinan akan membuka ruang lebih banyak perempuan terlibat dalam politik yang akan merumuskan kebijakan publik yang ramah perempuan dan anak.
Senada dengan Grace, Dini Shanti Purwono, salah seorang kuasa hukum PSI dari "Jangkar Solidaritas" menilai UU Pemilu yang baru disahkan mengabaikan hak dan kepentingan perempuan pada tingkatan provinsi kabupaten/kota dan kecamatan.
“PSI meminta MK menyatakan pasal 173 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pemilu 2017 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan,” ungkap Dini.
Menurut Dini, perempuan dan laki-laki merupakan warga negara republik memiliki hak-hak kewargaan dan hak politik yang sama di negara Indonesia.
"Tak boleh ada diskriminasi politik hanya karena perbedaan jenis kelamin, sebagaimana juga tidak dibenarkan diskriminasi terhadap perbedaan agama, suku, bahasa, kelas ekonomi, ras, dan lain-lain. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia secara universal," ujarnya.