Penuhi Undangan Pansus KPK, Ini Paparan Ketua LPSK
Pada rapat itu, Pansus Angket KPK meminta penjelasan perihal terminologi safe house karena sepengetahuan mereka
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pasca lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sudah sepatutnya program perlindungan saksi dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bukan oleh aparat penegak hukum.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan.
Demikian disampaikan para pimpinan LPSK dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/8-2017).
Dalam kesempatan itu, hadir memenuhi undangan Pansus Hak Angket KPK bersama jajaran wakil ketua, seperti Edwin Partogi, Hasto Atmojo, Lili Pintauli dan Teguh Soedarsono, serta Sekjend LPSK Noor Sidharta.
Rapat dipimpin Agun Gunandjar Sudarsa dan Masinton Pasaribu, serta dihadiri sejumlah anggota Pansus Hak Angket KPK antara lain Arsul Sani, Eddy Wijaya, Daeng Muhammad, M Misbakhun dan Adies Kadir. Dalam rapat tersebut, pansus menggali hubungan antarlembaga yaitu LPSK dan KPK dalam hal perlindungan saksi, termasuk masalah pengelolaan safe house dan penetapan justice collaborator (JC).
Pimpinan Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, pihaknya ingin mendapatkan klarifikasi dari LPSK terkait hubungan kelembagaan antara LPSK dan KPK. Karena LPSK dan KPK sama-sama dibentuk menggunakan undang-undang, hanya tugas dan fungsinya saja yang berbeda.
"Pada prakteknya, ada saksi yang dilindungi sendiri oleh KPK, semestinya kan oleh LPSK," kata Agun.
Pada rapat itu, Pansus Angket KPK meminta penjelasan perihal terminologi safe house karena sepengetahuan mereka, hanya UU Perlindungan Saksi dan Korban yang khusus menyebut safe house.
"Apakah dimungkinkan penegak hukum melindungi saksinya sendiri dan juga apakah mungkin saksi dibawa refreshing? Bagaimana koordinasi LPSK-KPK,"ujar Adies Kadir, anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar.
Menjawab pertanyaan itu Abdul Haris menuturkan, perihal safe house yang katanya dimiliki KPK, di dalam pengelolaannya tidak ada koordinasi sama sekali dengan LPSK.
Sebab, masing-masing merupakan lembaga mandiri dan tidak ikut campur satu sama lain.
"Dalam UU 31/2014, LPSK yang berwenang mengelola rumah aman. LPSK memiliki SOP sendiri dan syarat tertentu," katanya.
Semendawai mengatakan, idealnya jika ada saksi dari penegak hukum, termasuk KPK, yang potensi ancaman terhadap yang bersangkutan sangat tinggi, masalah perlindungannya diserahkan kepada LPSK.
Karena perlindungan saksi merupakan kewenangan LPSK sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Koordinasi dengan pimpinan KPK tidak ada, khususnya dengan pimpinan KPK periode ini," katanya.
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo menambahkan, sejak 2016 hingga saat ini, saksi yang direkomendasikan perlindungannya dari KPK hanya ada satu, sementara periode yang sama, saksi yang dirujuk penegak hukum lain, yakni kepolisian dan kejaksaan mencapai 342 kasus (gabungan kasus termasuk korupsi).
"Jadi, tidak imbang. Tapi, LPSK tidak tinggal diam dengan terus proaktif menawarkan perlindungan," katanya.
Sedangkan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyatakan, perihal pengelolaan safe houseyang katanya dimiliki KPK, pihaknya baru mengetahui permasalahan tersebut dari pemberitaan media setelah adanya temuan dari Pansus Angket KPK.
"Dalam peraturan bersama antara LPSK, Kapolri, Jaksa Agung, Menkumham dan Ketua KPK tahun 2011, perlindungan saksi kasus tertentu diserahkan ke LPSK," kata Edwin.