Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Abdul Kharis: Seret Semua Biksu dan Militer Yang Bantai Rohingya

Beberapa hari ini tensi meningkat. Ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Pertempuran militer Myanmar dengan warga menewaskan ratusan jiwa.

zoom-in Abdul Kharis: Seret Semua Biksu dan Militer Yang Bantai Rohingya
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Massa yang tergabung dalam Sahabat Muslim Rohingya melakukan aksi di Kedubes Myanmar, Jakarta, Senin (4/9/2017). Dalam aksinya pengunjuk rasa menuntut pemerintah mengusir Dubes Myanmar dari Indonesia menyusul tragedi kemanusiaan muslim Rohingya. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM - Beberapa hari ini tensi meningkat. Ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan ratusan korban jiwa.

"Kita harus menginvestigasi kritis pembantaian sistematis atau genosida pemerintah Myanmar terhadap muslim Rohingya sebagaimana diduga oleh PBB, termasuk ragam pemerkosaan wanita Rohingya yang sedang hamil. Serta pembiaran 80 ribu lebih anak-anak yang menderita kelaparan di daerah termiskin Myanmar tersebut," ujar Ketua Komisi 1 DPR RI DR. H. Abdul Kharis Almasyhari.

"Krisis ini aib bagi para tokoh dan negara-negara ASEAN, saya minta seret semua pembantai Muslim Rohingya, biksu maupun militer ke mahkamah internasional! Hentikan pembunuhan dan pembantaian keji itu" tegas Kharis yang juga Ketua Komisi 1 DPR RI.

Yang memprihatinkan, Kharis melihat respon dari negara-negara tetangga, termasuk negara-negara ASEAN maupun negara-negara mayoritas Muslim, seperti sedang melakukan “pingpong maritim” dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan didorong ke negara lain.

"Kita mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitupula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini" terang Kharis.

Para “manusia perahu” Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba.

Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, saat meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan.

Menurut laporan dari Human Rights Watch, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut (Human Rights Watch, 2012).

Berita Rekomendasi

Persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar.

Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya.

Akan tetapi, pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.

Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang-ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar.

Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine.

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas