Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Peluru Tajam 40 x 46 MM Yang Dibeli Polri Dampaknya Mematikan

Peluru yang disebut granat itu, akan meledak dan menyebarkan serpihan besi tajam ke sekeliling, ketika sensor ledaknya dipicu.

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Peluru Tajam 40 x 46 MM Yang Dibeli Polri Dampaknya Mematikan
Nurmulia Rekso Purnomo/Tribunnews.com
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, didampingi Kepala Badan Intlijen Negara (BIN), Budi Gunawan, Panglima TNI. Jendral TNI. Gatot Nurmantyo, Kapolri. Jendral Pol. Tito Karnavian, dan Menteri Pertahanan (Menhan). Ryamizard Ryacudu, memberikan keterangan soal polemik impor senjata polri, di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (6/10/2017). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terungkap akhirnya, bahwa dari 5.932 butir peluru yang dibeli Polri untuk Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) Kal 40 x 46 milimeter, diantaranya adalah peluru tajam.

Hal tersebut dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto.

Dalam konfrensi persnya di kantor Menkopolhukam, Jakarta Pusat, Jumat (6/10/2017), ia menyebut peluru yang dibeli Polri bersamaan dengan 280 pucuk SAGL Kal 40 x 46 itu, terdiri dari tiga jenis, peluru asap, peluru gas air mata, dan peluru tajam.

"Amunisi ada tiga macam, ada 'smoke' (red:asap), dan gas air mata, ada yang tajam, dan yang tajam ini, nanti titip di Mabes TNI," katanya.

Mantan Komandan Kelompok Khusus Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Kolonel (Purn) Fauka Noor Farid, saat dihubungi Tribunnews.com, menyebutkan peluru tajam yang dimaksud Wiranto, bukan berarti peluru yang secara fisik ujungnya tajam.

Istilah tersebut umum digunakan untuk menyebut peluru yang mematikan.

Baca: Kata Fadli Zon Persoalannya Pada Kepemimpinan Jokowi, Bukan Jenderal Gatot

Berita Rekomendasi

"Jadi tajam itu mematikan, dan peluru kaliber empat puluh kali empat puluh enam yang disebut peluru tajam itu, adalah untuk mematikan, itu peluru anti personil, bukan untuk melumpuhkan," ujarnya.

Peluru yang dimaksud, adalah peluru kaliber 40 x 46 milimeter (mm), untuk ukuran sebesar itu, umumnya peluru-peluru itu disebut dengan granat.

Penyebutan itu antara lain karena fungsi dari peluru itu, bukan untuk menembus material tertentu, seperti pada umumnya peluru di pistol atau senjata laras panjang. 

Peluru yang disebut granat itu, akan meledak dan menyebarkan serpihan besi tajam ke sekeliling, ketika sensor ledaknya dipicu.

Salah satu pemicunya, adalah ketika peluru itu bertabrakan dengan material tertentu.

Peluru itu dilontarkan melalui senjata yang larasnya memadai, antara lain seperti SAGL 40 x 46 mm yang diimpor Polri dari Bulgaria.

Selama ini, Polri sudah memiliki senjata dengan kaliber sebesar itu. Mereka umumnya menggunakan senjata itu, untuk melontarkan granat yang berisi asap, atau gas air mata.

Granat yang dilontarkan itu, menurut Fauka Noor Farid adalah jenis amunisi yang melumpuhkan, dan efektif untuk membubarkan massa. 

Dikutip dari arsenal-bg.com, diketahui peluru RLV- High Explosive Fragmentation Jump (HEFJ) yang dibeli Polri, adalah jenis peluru 'low velocity,' berdaya ledak tinggi, yang mampu melesat sejauh 400 meter dengan kecepatan 76 meter per detik.

Pemicu ledakan dari peluru tersebut, antara lain jarak, dan tubrukan dengan material tertentu.

Fauka noor Farid yang sempat puluhan tahun mengabdi di Kopassus TNI AD itu, menyebut di dunia militer, peluru kaliber 40 x 46 mm, digunakan untuk berbagai hal, mulai dari mengganggu konsentrasi musuh, memberikan tekanan psikologis, hingga membunuh musuh dalam jumlah banyak dalam sekali tembakan.

"Misalnya ada musuh sudah kita pantau, mereka lagi berkumpul. Lalu pendadakan dilakukan dengan menembakan granat ke mereka, dengan efek ledakan, konsentrasi mereka buyar, mereka lengah, dan langsung kita serbu," ujarnya.

"Selain itu fungsinya juga untuk membunuh dalam jumlah banyak, kalau ada musuh yang berkumpul, ditembakan ke arah mereka, korbannya pasti banyak," katanya.

Menurutnya, jika Polisi berpartisipasi dalam perang melawan musuh dengan jumlah besar, terlatih dan memiliki persenjataan yang mumpuni, seperti saat Polri bahu-membahu bersama TNI melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau ketika Polri ikut dalam pembebasan Irian Barat pada tahun 1963, maka sah-sah saja peluru sebesar itu dimiliki.

"Tapi kan ancaman sekarang tidak seperti itu. Teroris sekalipun, sekarang kan jumlahnya kecil, dan tidak memiliki persenjataan berat, jadi menurut saya, tidak tepat Polri membeli peluru jenis itu," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas