MKD Diprediksi Tumpul Ketika Berhadapan dengan Novanto
Peneliti Formappi Lucius Karus sudah menduga Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI bakal tumpul ketika menangani persoalan etik Ketua DPR Setya Novan
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Formappi, Lucius Karus sudah menduga Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI bakal tumpul ketika menangani persoalan etik Ketua DPR Setya Novanto.
Baca: Romli Heran Pengacara Setnov Ajukan Pengadilan HAM Internasional
“Kalau bicara soal MKD bukan hal baru alat kelengkapan ini di DPR memang sudah sejak awal jadi sorotan karena perannya tumpul,” ujar Lucius dalam sebuah diskusi yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (18/11/2017).
Lucius mengatakan seharusnya MKD bisa memberikan ganjaran etik kepada Setya Novanto yang sebetulnya telah jelas ingin lari dari tanggung jawabnya.
Baca: Pagelaran Wayang Golek Jadi Sarana Efektif Sampaikan Materi MPR
“Jadi ini sesuatu yang aneh bagi saya. Seorang pejabat negara tidak bisa dihubungi sedetik pun itu sebenarnya sudah sangat krusial buat saya. Bagaimana misalnya tiba-tiba kita punya masalah serius dan butuh penyelesaian dari elit-elit bangsa seperti Presiden dan mendapatkan salah seorang pimpinan DPR tak bisa dihubungi itu aneh,” kata Lucius.
“Saya rasa ini perilaku bisa dikategorikan perilaku tidak bertanggung jawab atau mau lari dari tanggung jawab karena dia menghilang tanpa diketahui ada di mana, bahkan ajudan,” ujar Lucius.
Dari persoalan etik tersebut, Lucius menyayangkan sikap MKD yang justru dianggapnya buru-buru menggelar rapat dan mengambil keputusan agar menunggu sampai status hukum Novanto ditingkatkan sebagai terdakwa.
“Yang terjadi justru belum apa-apa MKD sudah lalukan rapat internal dan memutuskan untuk mengikuti proses hukum ini sampai ada status lebih lanjut status terdakwa, baru sampai persidangan ada proses penghentian Setya Novanto,” kata Lucius.
Melihat kembali ke belakang, Lucius mengungkap lagi bagaimana ‘tumpulnya’ MKD ketika berhadapan dengan Novanto dalam kasus etik papa minta saham.
Kalau bukan karena desakan publik, kata Lucius, maka MKD tidak akan segera mengambil keputusan terhadap jabatan Novanto saat itu yang juga sebagai Ketua DPR.
"Kalau bukan karena desakan publik di kasus papa minta saham dulu itu MKD juga tidak gerak. Sesungguhnya itu yang terjadi sekarang ini. Potensi pelanggaran etik yang ditunjukkan dalam kasus-kasus Pak Setya Novanto belakangan ini saya pikir cukup tinggi ya,” tutur Lucius.