Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penjarakan Ketua DPR RI, KPK Cetak Sejarah

Novanto ditahan penyidik di Rutan KPK usai dijemput dari tempat pembantaran, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Sanusi
zoom-in Penjarakan Ketua DPR RI, KPK Cetak Sejarah
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua DPR yang juga tersangka kasus korupsi e-ktp Setya Novanto menggunakan rompi oranye tiba di gedung KPK, Jakarta, Minggu (19/11/2017) dini hari. Setya Novanto resmi ditetapkan menjadi tersangka terkait kasus korupsi e-ktp. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah melewati rangkaian proses hukum dan bumbu 'drama', akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan Ketua DPR RI Setya Novanto selaku tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP ke dalam tahanan pada Senin (20/11/2017) dini hari.

Novanto ditahan penyidik di Rutan KPK usai dijemput dari tempat pembantaran, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Penahanan ini adalah kali pertama yang dilakukan oleh KPK terhadap Ketua DPR aktif sepanjang 15 tahun lembaga anti-rasuah itu berdiri. Apalagi, Setya Novanto juga masih berstatus sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Selain itu, Novanto juga telah beberapa kali "lolos" dari dugaan kasus pidana.

Baca: Diperiksa Polres Bogor, 2 Pemberi Anggur Merah ke Hewan Taman Safari Dicecar 20 Pertanyaan

Meski begitu, penetapan tersangka dan penahanan Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP oleh KPK ini adalah dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 atau saat penganggaran dan pengadaan proyek e-KTP di Kemendagri Tahun 2011-2012 senilai Rp 5,9 triliun.

Penetapan Novanto sebagai tersangka merupakan pengembangan KPK atas kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka sebelumnya. Dalam dakwaan perkara yang sama atas terdakwa Irman dan Sugiharto, Novanto disebutkan turut mendapat bagian duit Rp 574 miliar dari hasil proyek itu.

Terkuaknya kasus dugaan korupsi mega proyek ini juga tidak lepas dari "nyanyian" mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Berita Rekomendasi

Selain KPK, lembaga Kejaksaan Agung pernah menjerat Akbar Tanjung juga saat aktif menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 2002. Akbar Tanjung merupakan senior dan pendahulu Novanto di parlemen dan di Partai Golkar.

Kejaksaan menetapkan Akbar Tanjung atas kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar pada 7 Januari 2002. Ia mulai ditahan di Rutan Kejaksaan Agung pada 7 Maret 2002.

Kala itu juga diwarnai upaya Akbar berusaha menghindari penahanan dengan masuk mobil sendiri saat penyidik kejaksaan hendak menahannya. Namun, aksinya terhadang kendaraan taktis kepolisian yang sengaja diparkir di depan pintu masuk Kejaksaan Agung.

Namun, perlawanan secara hukum yang dilakukan oleh Akbar membuahkan hasil. Ia hanya mendekam di balik tahanan selama 28 hari.

Pada 25 Maret 2002 sidang perdana Akbar Tanjung digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 5 April 2002, majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan Akbar.

Akhirnya majelis hakim di pengadilan tingkat pertama itu memvonis Akbar dengan 3 tahun penjara pada 4 November 2002. Vonis itu dikuatkan dengan putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 17 Januari 2003.

Namun, justru majelis hakim pada Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Akbar pada 12 Februari 2004. Akhirnya Akbar Tanjung bebas murni.

Penetapan dan penahanan Ketua DPR Setya Novanto selaku tersangka saat ini menambah panjang daftar nama pucuk pimpinan lembaga negara dan ketua umum partai yang dijerat dan dijebloskan ke penjara oleh lembaga KPK.

Sebelumnya, ada Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Irman Gusman selaku Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Luthfi Hasan Ishaaq selaku anggota DPR 2009-2014 dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Anas Urbaningrum selaku anggota DPR 2009-2014 dan Ketua Umum Partai Demokrat.

Akil Mochtar terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) saat masih aktif menjabat Ketua MK. Ia dan sejumlah orang ditangkap di rumah dinasnya, Komplek Widya Chandra Jakarta, pada 2 Oktober 2013.

Dalam rangkaian OTT tersebut, tim KPK menyita barang bukti uang sekitar Rp 3 miliar yang terdiri dari 284.050 Dollar Singapura dan 22.000 Dollar AS.

Akil disangkakan menerima suap dalam pengurusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten pada 2011. Ia juga dijerat dengan pasal pencucian uang.

Majelis hakim mulai pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta hingga tingkat kasasi di MA tetap memvonis Akil dengan pidana penjara selama seumur hidup.

Hukuman berat dari majelis hakim kepada Akil Mochtar didasari pertimbangan bahwa perbuatan Akil telah meruntuhkan wibawa MK. Selain itu, Akil merupakan Ketua MK yang merupakan benteng terakhir bagi masyarakat yang mencari keadilan.

Saat ini, Akil tengah menjalani masa hukuman seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Selanjutnya, ada nama Irman Gusman selaku Ketua DPD RI ditangkap oleh tim KPK di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 17 September 2016, dini hari. Pihak KPK melansir pimpinan senator itu ditangkap usai menerima bingkisan berisi uang Rp100 juta dari pihak swasta.

Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Irman Gusman dengan hukuman pidana penjara selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim juga mencabut hak politik Irman selama 3 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.

Irman dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan Memi.

Irman terbukti menggunakan pengaruhnya sebagai Ketua DPD untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog kepada perusahaan milik Xaveriandy pada tahun 2016.

Ia terbukti bersedia membantu Memi dengan meminta keuntungan sebesar Rp 300 rupiah dari setiap kilogram gula yang diberikan Perum Bulog. Irman menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti agar Bulog mendistribusikan gula ke daerah asal pemilihannya, Sumatera Barat.

Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat bahwa Irman telah menciderai amanat sebagai Ketua DPD RI.

Pencabutan hak politik terdakwa yang diberikan pemerintah, bertujuan untuk melindungi publik dari kemungkinan terpilihnya seseorang yang berperilaku koruptif dalam jabatan publik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas