Parpol dan Stakeholder Pemilu di Indonesia Masih Abaikan Generasi Z
Kuatnya dominasi generasi X di tingkat pengambil keputusan stakeholder pemilu jadi salah satu penyebab diabaikannya generasi Z
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemahaman mayoritas stakeholder pemilu dan partai politik dalam pengelolaan pesan maupun kanal komunikasi politik yang tepat terhadap generasi Z, yakni anak-anak yang lahir pada rentang 1993 hingga 2011, ternyata belum dilakukan dengan tepat. Kuatnya dominasi generasi X di tingkat pengambil keputusan stakeholder pemilu jadi salah satu penyebabnya, termasuk pengaruh patronase di dalam parpol maupun kondisi internal parpol yang mengalami pergantian pengurus.
Inilah yang jadi kesimpulan survei digital aset komunikasi politik terhadap stakeholder pemilu di Indonesia yang dilakukan mahasiswa Komunikasi Politik Universitas Bakrie yang diselenggarakan pada 27 Oktober hingga 19 November 2017.
”Aset digital yang jadi sasaran survei ini adalah laman (website) dan seluruh kanal sosial media yang dimiliki stakeholder pemilu di Indonesia, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), partai peserta pemilu 2014, dan calon peserta pemilu 2019,” kata Dosen Komunikasi Politik Universitas Bakrie, Algooth Putranto lewat siaran persnya yang diterima Tribunnews.com, Rabu (29/11/2011).
Dari hasil survei ini ditemukan fakta bahwa mayoritas lembaga penyelenggara, pengawas, dan pengadil Pemilu telah memiliki aset digital yang lengkap, namun tidak dikelola maksimal. Informasi yang diunggah melalui aset digital itu baru sebatas informasi, bahkan cenderung sermonial, dan belum dikemas secara menarik atau pada tahap selanjutnya memancing terjadinya percakapan.
”Partai Hanura masih mengalami persoalan pengelolaan aset digital akibat pergantian kepengurusan. Meski demikian, partai mapan seperti Nasdem, Golkar, Demokrat, dan PAN juga mengalami masalah dalam pengelolaan beberapa aset digital mereka yang cenderung statis,” kata Algooth.
Algooth mengatakan. seluruh lembaga penyelenggara, pengawas dan pengadil Pemilu maupun mayoritas partai berbasis nasionalis ternyata juga masih mengandalkan platform Twitter dan Facebook yang telah ditinggalkan generasi Z.
Fakta lain yang ditemukan adalah PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014 secara mengejutkan justru belum memahami posisi strategis sosial media sebagai mesin komunikasi politik bagi generasi Z. Sebaliknya, elit politik mereka masih meyakini televisi dan radio sebagai alat komunikasi yang lebih efektif.
”Hanya Partai Gerindra dan PKS yang fokus dan konsisten mengembangkan sistem untuk mengelola aset digital mereka, sementara partai Islam-tradisional seperti PKB dan PPP mulai menyadari pentingnya digital aset sebagai alat komunikasi politik mereka,” katanya. ”PPP dengan kondisi didera persoalan kepengurusan dan citra partai tua secara mengejutkan bahkan jadi satu-satunya partai yang menciptakan aplikasi berbasis android yang dapat diunduh bagi pemilihnya,” imbuh Algooth.
Survei ini juga menemukan fakta bahwa, Perindo sebagai partai baru dengan modal kepemilikan media yang beragam justru tidak memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan aset digital mereka. Mayoritas konten yang dimuat adalah seremonial partai dan ketua umum.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.