Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

2017, Kasus Korupsi dan Persekusi Beraroma Diskriminasi Atau Tebang Pilih

Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Achmad, menilai sepanjang 2017 ini penyelesaian hukum tidak sampai pada akar persoalan.

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Willem Jonata
zoom-in 2017, Kasus Korupsi dan Persekusi Beraroma Diskriminasi Atau Tebang Pilih
ist
Ilustrasi hukum dan pengadilan 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -‎ Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Achmad, menilai sepanjang 2017 ini penyelesaian hukum tidak sampai pada akar persoalan dan ada nuansa diskriminasi atau tebang pilih.

‎Hal ini menurutnya yang harus dibenahi ke depan oleh penegak hukum. ‎Padahal, inti dari penegakan hukum adalah sebagai penjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

‎"Jadi di Indonesia ini wujud inti dari hukum untuk mencapai suatu keadilan di masyarakat, telah menghilang. Padahal hukum itu tidak diperlukan apabila sudah ada keadilan," kata Suparji Achmad, dalam sebuah diskusi catatan akhir tahun 2017 SA Institute, di Jakarta, Selasa (19/12/2017).

Suparji menyoroti kasus korupsi yang belum menunjukkan rasa keadilan di masyarakat sepanjang 2017. Pertama, menghilangnya tiga nama politkus PDI Perjuangan dalam dakwaan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP yang ditangani oleh KPK.

"Tiga nama hilang dalam kasus e-KTP, tapi tidak muncul dalam dakwaan Setya Novanto. Itu ditandai banyak putusan pengadilam belum wujudkan rasa keadilan di masyarakat," tuturnya.

Tidak hanya itu, pendiri SA Institute ini menyoroti hilangnya kebebasan dalam berpendapat yang juga dinilai hilangnya rasa keadilan di masyarakat.

Berita Rekomendasi

Pasal, yang ada di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kerap disalahgunakan dalam penegakan hukum.

"Unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE cenderung multitafsir. Pada 2017, ada beberapa orang dijerat dengan pasal tersebut. Antara lain, Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Aswa Dewi dan Buni Yani," tuturnya.

Suparji menuturkan, fenomena persekusi yang diatur dalam UU KUHP meningkat luar biasa sepanjang 2017.

Persekusi merupakan tindakan memburu orang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu pihak secara sewenang-wenang, secara sistematis atau luas.

"Persekusi kepada ulama banyak terjadi sepanjang 2017 ini yang akhirnya timbulkan konflik horizontal," tuturnya.

Dirinya menambahkan, fenomena praperadilan di 2017 meningkat sangat signifikan. Hal ini dimanfaatkan para tersangka korupsi untuk lolos dari penetapan tersangka seperti kasus Setya Novanto.

Padahal semangat lahirnya UU KUHP yang mengatur praperadilan ini sebagai pengawasan horizontal terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik maupun penuntut umum.

"Praperadilan ini dimanfaatkan untuk melawan keadilan itu tadi. Pada mulanya, sidang praperadilan jarang dilaksanakan, namun pasca putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, prapeadilan telah digunakan sebagai alat untuk apapun agar tersangka terhindar dari penetapan itu," tandasnya.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas