Istri Setya Novanto Banyak Bergerak Ketika Namanya Disebut dalam Sidang Kasus e-KTP
Deisti terlihat membetulkan posisi kerudung dekat dengan dagunya ketika JPU KPK menyebut namanya untuk menjelaskan kembali isi surat dakwaan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski datang ke ruang sidang dengan menunduk sambil tersenyum, istri dari pernikahan kedua Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor kerap menggerak-gerakan tangannya sendiri selama persidangan ketiga suaminya dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).
Deisti terlihat membetulkan posisi kerudung dekat dengan dagunya ketika JPU KPK menyebut namanya untuk menjelaskan kembali isi surat dakwaan.
Ketika itu, Deisti tampak mengerutkan kening kemudian tertunduk dan mengetuk-ngetukan jemari telunjuk ke keningnya sambil tertunduk. Kemudian ia menegakkan kepalanya ke arah meja JPU KPK sambil mengerutkan dahi dan menyilangkan kaki.
Baca: Memarahi Anak Seperti Video Ruben Onsu Boleh Dilakukan Ayah Bunda Gak ? Ini Penjelasan Psikolog
Hal itu dilakukan Deisti ketika JPU KPK menyebut namanya dalam menjelaskan kembali maksud dari perbuatan yang dilakukan Novanto bersama-sama dengan kawan peserta lainnya pada poin kedua penjelasan.
"Bahwa PT Murakabi Sejahtera yang dipersiapkan oleh Terdakwa dan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai salah satu perusahaan pendamping Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Terdakwa melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Terdakwa), Deisti Astriani Tagor (istri Terdakwa), dan Rheza Herwindo (anak Terdakwa) dengan cara Irvanto Hendra Pambudi Cahyo membeli saham PT Murakabi Sejahtera milik Vidi Gunawan, sehingga Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dapat menggantikan posisi Vidi Gunawan (adik Andi Agustinus alias Andi
Narogong) sebagai Direktur PT Murakabi Sejahtera dan selanjutnya Deisti Astriani Tagor dan Rheza Herwindo membeli sebagian besar saham PT Mondialindo Graha Perdana yang merupakan holding dari PT Murakabi Sejahtera," kata JPU KPK di ruang sidang.
Usai namanya disebut, Deisti kemudian menyilangkan kaki kirinya dan menunduk melihat wedges berwarna hitam dan krem yang ia kenakan. Ujung jari kakinya tampak bergerak-gerak. Kemudian ia menyilangkan kaki kanannya dan melihat ujung sepatunya sambil menggerak-gerakan ujung sepatunya.
Deisti masuk ke dalam ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09.13. Ditemani seorang perempuan, Deisti masuk ke dalam ruang sidang lewat pintu samping ruang pengadilan. Di belakang Deisti, tampak Novanto tersenyum mengantarnya masuk.
Selama persidangan, Deisti yang mengenakan kerudung dan luaran blus biru duduk di sebelah politisi Golkar Idrus Marham. Keduanya duduk di barisan paling depan sebelah kanan bangku pengunjung.
Deisti juga terlihat menunjukan layar ponselnya ke Idrus yang berada di sebelahnya. Kemudian leher Desiti maju ke arah telinga Idrus. Ia tampak membisikan sesuatu, namun apa yang dibicarakannya tidak terdengar ditelan riuh rendah ruang sidang.
Deisti bersama para perempuan yang menemaninya dan Idrus langsung masuk ke ruang sidang dan keluar lewat pintu samping pengadilan usai persidangan pada pukul 10.33. Sejak itu, Deisti bersama teman-temannya dan Idrus tidak terlihat lagi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam persidangan JPU KPK menyatakan bahwa pengacara Novanto telah keliru dalam memahami pasal 143 ayat 2 (a) dan (b) KUHAP tentang syarat surat dakwaan. Setelah menguraikan tanggapannya selama kurang lebih satu jam, JPU menyatakan bahwa surat dakwaan yang dibacakan JPU KPK kepada Novanto pada Rabu (13/12/2017) telah dibuat secara cermat, jelas, dan lengkap. Untuk itu JPU KPK berpendapat bahwa eksepsi (keberatan) Novanto pada Rabu (20/12/2017) harus ditolak,"
"Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kami Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa surat dakwaan yang dibacakan pada sidang tanggal 13 Desember 2017 telah memenuhi syarat dan ketentuan pasal 143 ayat 2 (a) dan (b) KUHAP. Oleh karena itu keberatan kuasa hukum terdakwa yang disampaikan pada tanggal 20 Desember 2017 harus dinyatakan ditolak," kata JPU KPK.
Untuk itu JPU KPK meminta tiga hal kepada Majelis Hakim. Tiga hal itu antara lain menolak keberatan yang diajukan kuasa hukum Novanto, menyatakan bahwa surat dakwaan terhadap terdakwa Setya Novanto yang dibacakan JPU KPK pada tanggal 13 Desember 2017 telah memenuhi syarat KUHAP, dan menetapkan untuk melanjutkan perkara tersebut berdasarkan dakwaan JPU KPK.
"1. Menolak keberatan eksepsi yang diajukan kuasa hukum terdakwa. 2. Menyatakan bahwa surat dakwaan dengan Nomor Dak-88/24/12/2017 yang telah kami bacakan pada tanggal 13 Desember 2017 telah memenuhi ketentuan dalam KUHAP. 3. Menetapkan untuk melanjutkan perkara ini berdasarkan dakwaan Penuntut Umum," kata JPU KPK.
Setelah mendengarkan tanggapan JPU KPK, Hakim Yanto yang memimpin sidang kemudian menyatakan bahwa sidang ditunda sampai hari Kamis (4/1/2018) dengan agenda Putusan Sela. Selanjutnya Hakim Yanto juga menuatakan bahwa permohonan kuasa hukum pihak Novanto untuk pemeriksaan kesehatan dan izin besuk kliennya dikabulkan Majelis Hakim.
"Selanjutnya kami beritahukan untuk permohonan cek kesehatan saudara pada hari Jumat dan juga permohonan izin besuk telah dikabulkan majelis," kata Hakim Yanto.
Kuasa hukum terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto, Firman Wijaya menghormati dan mengapresi keputusan Majelis Hakim yang meggabulkan permohonan pemeriksaan kesehatan kliennya.
Hal tersebut dikatakan Firman usai persidangan kliennya dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) pada Kamis (28/12/2017) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Kami ucapkan terima kasih kepada majelis hari ini mempertimbangkan beliau untuk berobat. Kami menghormati dan apresiasi," kata Firman.
Firman mengatakan bahwa kliennya tersebut akan memulai pemeriksaan dan pengobatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto pada Jumat (29/12/2017).
Firman juga mengatakan bahwa sebelumnya ia telah memberikan laporan kesehatan Novanto kepada Majelis Hakim yang menangani perkaranya.
Menurut Firman, kliennya tersebut memang memiliki riwayat sakit jantung dan gula. Bahkan ia mengatakan masyarakat harus tahu bahwa sakit yang diderita kliennya tersebut bukanlah imajinasi.
"Ya memang medical record Pak Setnov itu jelas sebenarnya, hanya karena pemeriksaan kemaren itulah yang kita sampaikan. Bahwa ini bukan imajinasi sakitnya Pak Nov. Ada medical recordnya. Karena itu kami sampaikan agar masyarakat tahu bahwa Pak Nov memang punya gangguan di jantung dan gula. Kami sampaikan recordnya kepada majelis," kata Firman.
Sebelumnya, tim kuasa hukum Novanto mengajukan permohonan tersebut dalam sidang perdana kasus KTP Elektronik pada Rabu (13/12/2017).
Meski mengapresiasi keputusan hakim, namun Firman merasa tidak puas dengan jawaban dari JPU KPK. Firman menyebutkan bahwa surat dakwaan bukanlah "surat cinta".
Ia menyesali sikap KPK yang tidak membahas soal nama-nama yang hilang dalam surat dakwaan kliennya seperti Mantan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey Kambey, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Padahal nama-nama tersebut muncul dalam surat dakwaan terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Andi Narogong dan Irman.
Ia berpendapat, seharusnya jika kliennya didakwa bersama-sama kedua terdakwa lainnya, seharusnya nama Olly, Ganjar, Yasonna juga ada dalam surat dakwaan kliennya.
"Jadi jelas ya. Bahwa hari ini tidak ada penjelasan dari KPK tentang nama-nama yang hilang itu. Itu menimbulkan pertanyaan bagi kami secara yuridis ya. Karena surat dakwaan itu bukan surat cinta, surat dakwaan itu dasar pemeriksaan perkara,"
Menurut Firman, hal itu penting dalam surat dakwaan karena nama-nama tersebut pasti berkaitan dengan pembuktian sehingga jika nama-nama tersebut hilang dalam surat dakwaan kliennya maka surat dakwaan kemungkinan tidak sah.
"Karena itu menyebutkan nama orang, menempatkan nama orang, itu pasti ada korelasinya. Ada kaitan dengan pembuktiannya. Jadi kalo nama-nama itu hilang atau dihilangkan, kami tidak tahu persisnya. Ini punya konsekuensi tentang keabsahan surat dakwaan," kata Firman.
Karena hal itu, Firman mengatakan bahwa KPK gamang dalam membuat surat dakwaan yang seharusnya transparan.
"Jadi anomali (keganjilan) pendapat yang disampaikan oleh KPK itu menunjukan KPK gamang di dalam transparasi hilangnya nama-nama itu," kata Firman.
Dalam sidang dengan agenda eksepsi (keberatan) Novanto pada Rabu (20/12/2017) pihak Firman menuding bahwa surat dakwaan yang dibuat KPK tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Diketahui sebelumnya, Novanto yang merupakan mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu didakwa bersama sejumlah pihak lainnya diduga telah merugikan negara Rp 2,3 triliun dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Mantan Ketua DPR RI itu didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.