Perhutanan Sosial Yang Tak Sesuai Harap
Reforma agraria menjadi agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo. Ada dua bentuk reforma agraria yang dijalankan: perhutanan sosial dan redistribusi
Editor: Content Writer
Reforma agraria menjadi agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo. Ada dua bentuk reforma agraria yang dijalankan: perhutanan sosial dan redistribusi lahan.
Di Pemalang, Jawa Tengah, adalah salah satu pilot projek program perhutanan sosial. Tapi seperti yang dituturkan dua kelompok tani di sana, program tersebut tak berjalan mulus. Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, bertandang ke kelompok tani di Pemalang, Jawa Tengah. Di sini, dia, bakal memamerkan program pemerintah yang tengah digencarkan kepada publik dan jurnalis.
Program itu Perhutanan Sosial.
Bicara diatas panggung sederhana yang tak begitu tinggi –di kawasan Rest Area dan Wisata Balegandrung, Siti dengan bangga menyebut Perhutanan Sosial akan menggerakkan ekonomi petani dan membentuk komunitas bisnis baru.
"Sama seperti program lain, kita dalam era pemerintahan Presiden Jokowi saat ini ingin meningkatkan dan membuatnya menjadi utuh lebih berarti lagi. Kenapa kita bilang utuh, karena perhutanan sosial bukan hanya akses kepada hutan yang diberikan dalam bentuk kerjasama antara Perhutani dengan kelompok tani, tetapi dia harus diberikan fasilitasi lainnya sehingga akan terbentuk komunitas bisnis baru di tingkat rakyat," ucapnya.
Perhutanan Sosial dalam pemerintahan Joko Widodo sesungguhnya bagian dari Program Reforma Agraria. Program ini masuk dalam agenda prioritas RPJMN 2015-2019. Ada dua jalan untuk mewujudkan reforma agraria; perhutanan sosial dan legislasi serta redistribusi lahan.
Untuk perhutanan sosial, pemerintah menyiapkan lahan seluas 12,7 juta hektar. Sedang legislasi-redistribusi disiapkan 9 juta hektar.
Dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan juga Kementerian BUMN, dibebani kewajiban mengawal jalannya perhutanan sosial. Dimana konkretnya, masyarakat akan dipinjami lahan untuk dikelola. Lamanya pinjaman itu 35 tahun.
Data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, mencatat setidaknya ada sekitar 400 ribu hektar lahan perhutanan sosial yang bakal diberikan ke petani khusus di Pulau Jawa. Dirjennya, Hadi Daryanto, menyebut 200 ribu di antaranya sudah lolos verifikasi dan siap dikelola.
Kata dia, untuk tahun ini akan ada 45 lokasi hutan sosial yang siap dikelola.
Hadi Daryanto juga mengatakan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika masyarakat ingin mengantongi izin pengelolaan hutan sosial. Semisal harus warga asli di sekitar lahan, sudah berbentuk kelompok tani, dan diutamakan yang sudah memiliki koperasi.
Pilot projek program perhutanan sosial ini, berada Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Ada dua kelompok tani yang ikut serta. Yakni di Desa Gongseng, Kecamatan Randudongkal dan di Desa Simpur, Kecamatan Belik.
Izin untuk mengelola lahan di sana, diperoleh petani sejak pertengahan tahun ini. Lantas, mulus kah program prioritas pemerintah ini?
Rakhmat, Ketua Kelompok Tani Rimba Agro Abadi, Desa Simpur, bercerita hingga saat ini petani kesusahan mengairi. Ini karena lahan mereka yang berada di perbukitan dan tak memiliki embung atau pompa air. Alhasil, petani mengandalkan hujan. Petani 37 tahun ini juga mengatakan, kelompoknya memperoleh lahan seluas 745 hektar. Ratusan hektar tersebut dibagi rata untuk 500-an orang yang berasal dari lima desa.
"Untuk PS Gunung Jimat meliputi ada lima desa, Desa Mendelem, Desa Beluk, Desa Bulakan, Desa Cikasur dan Desa Simpur. Untuk luasan itu 715 hektar plus ada tambahan di Gunung Jimatnya itu 30 hektar untuk konservasi. (Sistem pengelolaannya bagaimana?) Untuk sementara kita bagi rata per petani mendapat 1,04 hektare," ucapnya.
Demi menyiasati lahan tetap produktif, petani memilah tanaman yang akan ditanam –artinya tergantung pada musim.
Serupa dengan Rakhmat. Nendra, Ketua Kelompok Tani Desa Gongseng juga begitu. Kata dia, sebagian besar dari 182 anggotanya terpaksa meminjam uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari kalau lahan mereka tak menghasilkan di musim kemarau.
Nendra juga bercerita, tiap anggota kelompok taninya mendapat izin pemanfaatan lahan seluas 1 hektar. Meski, mereka agak beruntung karena mendapat bantuan tiga mesin pompa air. Tapi, lantaran lahannya terlalu luas, pompa air itu tak mencukupi.
Dia pun berharap pemerintah tak sekadar meminjami lahan, tapi ikut mendampingi. Khususnya memberi pinjaman modal dan menyiapkan perusahaan rekanan untuk menyalurkan hasil panen mereka. Dengan begitu, harga jual tak ambruk.
Pasalnya, tengkulak yang justru mengambil keuntungan dari kondisi ini dan cita-cita menggerakkan ekonomi petani, takkan terjadi.
"Harapannya kedepannya tentunya dari masyarakat juga bisa dapat dibantu permodalannya karena kami dari dulu masalahnya itu terus. Dulu biasanya minjam ke tengkulak dan sebagaimananya. Jadi semoga nanti dari modal bisa dipinjami dan kemudian dari hasil bisa dijembatani dengan pihak lain dengan harapan harga bisa tetap bisa stabil," ucapnya.