Pasal-pasal dalam UU MD3 Dinilai Mencederai Demokrasi
Hendrik Rosdinar menilai pasal-pasal dalam UU MD3 mencederai demokrasi dan unsur partisipasi masyarakat.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajer advokasi Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Hendrik Rosdinar menilai pasal-pasal dalam UU MD3 mencederai demokrasi dan unsur partisipasi masyarakat.
Hendrik meyakini pasal-pasal tersebut tidak sejalan dengan sikap Jokowi yang demokratis dan selalu membuka ruang masukan dari publik.
"Akhirnya, yang jadi korban dari lahirnya UU ini Presiden Jokowi sendiri," ucap Hendrik dalam diskusi yang digelar di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Ia juga menilai, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly telah mengkhianati Presiden Joko Widodo dengan ikut mendukung pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Sebab, katanya, hal ini bisa dilihat dari pembahasan UU MD3 yang begitu cepat sehingga pasal-pasal yang kontroversial dalam UU MD3 belum dilaporkan Yasonna ke Jokowi.
"Proses pembahasan UU ini yang begitu cepat menunjukkan, Presiden sudah dikhianati oleh menterinya sendiri. Saya rasa konsultasi ke Presiden tidak dilakukan," kata Hendrik.
Hendrik mencatat sejumlah pasal kontroversial di UU MD3.
Misalnya, pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang. Lalu, pasal 122 huruf k, dimana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Selain itu, ada juga pasal 245 mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Hendrik menyarankan Presiden Jokowi segera mengambil tindakan atas lahirnya UU MD3 ini. Presiden bisa menginisiasi agar UU MD3 direvisi ulang.
Presiden bisa juga menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk merevisi sejumlah pasal yang bertentangan dengan demokrasi di UU MD3.
Sudah Sesuai
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai ketentuan dalam pasal 245 sudah sesuai dengan putusan MK sebab hanya mempertimbangkan, bukan mengizinkan.
"Waktu putusan MK itu kan dikatakan harus persetujuan presiden. Kalaupun ditambah anak kalimat mempertimbangkan MKD, itu hanya mempertimbangkan. Enggak ada kewajiban (dipatuhi)," kata Yasonna usai pengesahan revisi Undang-undang MD3 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2/2018).
Demikian pula pada pasal 122 huruf k tentang penghinaan parlemen. Yasonna menilai pasal tersebut wajar diadopsi di Undang-undang MD3. Ia menambahkan, di beberapa negara ada pasal sejenis yakni contempt of court dan contempt of parliament.
Ia pun mempersilakan pihak yang tidak setuju untuk menggugat pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau enggak setuju, boleh saja. Kalau merasa itu melanggar hak, ada MK. Enggak apa-apa biar berjalan saja," lanjut dia.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di Kompas.com, dengan judul: UU MD3 Dinilai Tak Sejalan dengan Sikap Jokowi