Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi III Terima Masukan RUU Jabatan Hakim

Diketahui, sejak 2004, Markas Besar TNI telah resmi mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Militer ke Mahkamah Agung (MA).

Editor: Content Writer

Tim Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI menerima masukan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim, khususnya terkait dengan kewenangan Peradilan Militer. Peradilan Militer merupakan lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan peradilan kehakiman, mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer.

Diketahui, sejak 2004, Markas Besar TNI telah resmi mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Militer ke Mahkamah Agung (MA).

Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengatakan, semua pihak harus mencermati norma rumusan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim Pasal 4 Ayat (1) dan (2). Dijelaskannya, Ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Peradilan Militer merupakan bagian dari lingkup peradilan lainnya yang bermuara dan memuncak kepada Mahkamah Agung.

“Hal ini menegaskan ada kepastian hukum bahwa MA adalah pembina dari seluruh hakim yang ada di Indonesia. Kemudian pada Ayat (2) untuk hakim peradilan militer, diklasifikasikan siapa dia, kapasitasnya seperti apa, yang diatur dalam rumusan peraturan perundang-undangan tersendiri,” kata Arteria saat mengikuti Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI di Gedung Pertemuan Pengadilan Tinggi Bali, Selasa (27/2/2018). Tim Kunker dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa.

Arteria melihat, tidak ada permasalahan dalam regulasi itu. Namun yang dipermasalahkan adalah terkait isu kewenangan, yaitu kewenangan lingkup peradilan militer yang diperluas menjadi pidana umum yang dilakukan oleh para anggota militer. Arteria mengatakan bahwa isu itu disampaikan oleh TNI dan telah digodok oleh Panja RUU Jabatan Hakim.

“Kami sampaikan juga bahwa negara ini menganut asas koneksitas. Dan pasca reformasi, dipastikan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam konteks pidana militer kita kanalkan ke Peradilan Militer. Tapi di luar itu, anggota militer yang melakukan penyimpangan tindak pidana umum itu kita kembalikan kepada ranah umum yaitu Peradilan Umum. Penyidikan dilakukan oleh pihak kepolisian,” jelasnya.

Terkait kekhawatiran bahwa akan ada resistensi penyidik mengalami kesulitan mengenai karakter kemiliteran seperti di kapal perang dan lain sebagainya, Politisi F-PDI Perjuangan itu mengatakan, inilah yang menjadi rekayasa hukum dan rekayasa sosial.

Berita Rekomendasi

“RUU tentang Jabatan Hakim merupakan rekayasa sosial yang memastikan siapa pun termasuk TNI sekalipun harus tunduk pada UU dan harus mau diatur dan dikelola. Sepanjang melakukan tindak pidana umum. Itu kita kanalkan ke peradilan umum,” tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Kepala Peradilan Militer Bali M. Djundan menerangkan dalam RUU tentang Jabatan Hakim belum menjangkau hakim militer, karena Peradilan Militer diatur dalam perundangan tersendiri, yakni UU Peradilan Militer yang hanya mengadili militer.

Lebih lanjut Djundan menjelaskan, kemandirian hakim harus diperbaiki. Tetapi pada kenyataannya ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara MA dan Panglima TNI, bahwa Mabes TNI dapat menarik hakim militer tanpa sepengetahuan MA. Hal ini membuat perasaaan mandiri dan masih terikat.

“Hakim Militer dan Peradilan Militer harus mandiri tanpa campur tangan Mabes TNI,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Djundan mengeluhkan, setelah berpisah dengan Mabes TNI pada tahun 2004, dan berada di lingkup MA, fasilitas kantor, rumah dinas, maupun rumah dinas di Peradilan Militer Bali menjadi minim. Bahkan, Peradilan Militer Bali tidak mempunyai Gedung Pengadilan.


“Kami Mohon Komisi III dapat mendorong MA mendirikan gedung Peradilan militer Denpasar, dan rumah jabatan,” harap Djundan.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas