Legislator Tak Setuju Moratorium Proyek Infrastruktur
Anggota Komisi V DPR RI Rendy Lamajido menyatakan tidak setuju pemerintah melakukan moratorium proyek infrastruktur.
Editor: Content Writer
Anggota Komisi V DPR RI Rendy Lamajido menyatakan tidak setuju pemerintah melakukan moratorium proyek infrastruktur.
Itu bukan jalan keluar, jalan keluarnya adalah pemerintah melakukan pengawasan sebelum pelaksanaan dimulai dan dan sesudah pelaksanaan proyek. Itu adalah standar operasional prosedur (SOP) sebagai kegiatan rutin yang harus dilakukan.
“Pengawas itu melakukan cross check sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek dan ada berita acaranya. Artinya setelah meeting poin dilakukan apakah semua telah berjalan sesuai standar kerja. Bila dikatakan siap, masih tetap harus dicek,” tandasnya dengan menambahkan, kalau pengawasan ini tidak dilakukan, di situlah awal dari terjadinya bencana itu.
Ditemui awak media, Rabu (7/03/2018) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rendy menyebutkan bahwa dalam UU Jasa Kontruksi disebut dengan jelas pengaturan sumber daya manusia itu diserahkan kepada masyarakat kontruksi melalui suatu lembaga yaitu Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi.
Namun dalam UU yang telah direvisi, lembaga ini hilang padahal mestinya independen.
Dalam UU sebelumnya, lanjut Rendy, lembaga ini kurang menjalankan fungsinya, mereka hanya terjebak pada persoalan akreditasi dan sertifikasi.
Padahal tugas lembaga tersebut ada lima poin diantaranya bagaimana melakukan proporsionalitas SDM.
“Ini kurang dilakukan. Bukan kelemahan UUnya, tapi lembaganya. Bahkan pemerintah mulai mendominasi. Ini salah,” tukasnya.
Menurut Rendy, di negara manapun yang melakukan pengerjaan proyek adalah masyarakat. Munculnya profesionalisme adalah karena kemandirian, tidak akan profesional kalau tidak mandiri. Karena itu dia mendesak, lembaga yang menjadi amanat UU dan kini diubah permen, diperkuat lagi sehingga bisa memayungi masyarakat kontruksi termasuk melakukan pembinaan jasa kontruksi.
Lebih lanjut dia mengatakan, sekarang ini pembinaan SDM diambil alih oleh pemerintah, ini salah. Pemerintah mestinya bersikap sebagai regulator dan operasional diserahkan kepada masyarakat kontruksi sendiri.
“Kalau pemerintah sudah menjadi regulator, jadi penyedia, pengguna dan pelelang tender sekaligus menjadi wasit, maka kacau. Tidak ada keseimbangan dalam pengawasan,” ia menambahkan.
Sekarang, kata Rendy banyak kontraktor yang melampaui kemampuan dasarnya (KD), atau kemampuan dirinya. Ini salah satu faktor yang menimbulkan kegagalan kontruksi.
Artinya sudah lelah, kebanyakan proyek sehingga tidak fokus dan konsentrasi karena tidak berdasarkan KD ini. Akibatnya banyak enginer kelelahan akhirnya terjadi kegagalan kontruksi.(*)