Gara-gara Novanto, Golkar Terancam Bubar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didorong menggali keterangan Setya Novanto terkait adanya uang korupsi yang mengalir ke Partai Golkar.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didorong menggali keterangan Setya Novanto terkait adanya uang korupsi yang mengalir ke Partai Golkar.
Dalam sidang sebagai terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, Novanto menyebut ada uang Rp 5 miliar mengalir untuk Rapimnas Golkar pada 2012.
"Harus diuji kebenarannya oleh KPK," kata Koordinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/3/2018).
Donal menyampaikan, jika terbukti ada aliran uang korupsi ke rapimnas, maka Partai Golkar bisa dipidana dan berpotensi dibubarkan.
Pemeriksaannya, kata Donal, dapat dilakukan terhadap pengurus partai. Hal ini sesuai Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat menjerat pengurus jika korupsi dilakukan korporasi.
"Bisa kena UU Tipikor dan UU TPPU untuk korupsi korporasi. (Golkar) Bisa dibubarkan, meski belum ada contohnya," ujarnya.
Baca: Elite Partai Golkar Kompak Enggan Komentari Nyanyian Novanto
Aliran uang haram e-KTP untuk parpol mulai terkuak saat salah satu vendor proyek e-KTP, Charles Sutanto Ekapradja, bersaksi dalam sidang dan mengatakan ada setoran uang ke Partai Golkar.
Novanto juga mengakui ada aliran uang di partainya sebesar Rp 5 miliar. Menurut dia, uang itu diserahkan oleh keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, untuk membiayai rapimnas Partai Golkar.
"Rp 5 miliar untuk Rapimnas," kata Novanto, menjawab pertanyaan hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018).
Selain untuk rapimnas, Partai Golkar juga diduga mendapat aliran uang hasil korupsi untuk penyelenggaran Musyawarah Nasional.
Pihak yang diduga mengalirkan uang 300 ribu dolar AS ke Munas Golkar adalah anggota Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi.
Fayakhun disebut menerima Rp 12 miliar dari proyek pengadaan satelit di Badan Keamaman Laut (Bakamla).
Dari jumlah itu, Fayakhun disebut meminta uang 300 ribu dolar AS dibayarkan lebih dulu oleh perusahaan rekanan di Bakamla.
Dalam sidang dengan terdakwa Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/1/2018), terungkap uang 300 ribu dolar AS itu diminta diberikan tunai guna menyokong penyelenggaraan Munas Partai Golkar.
Dalam persidangan, jaksa menunjukkan bukti percakapan WhatsApp antara Fayakhun dengan Erwin Arif, pengusaha Rohde & Schwarz terkait pembayaran 300. ribu dolar AS secara tunai.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.