Soal UU Terorisme, Benturan Dua Peraturan Akan Membingungkan Presiden
Undang-Undang antiterorisme sedang digodok Panitia Khusus dari Komisi I dan Komisi III DPR RI.
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBINNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang antiterorisme sedang digodok Panitia Khusus dari Komisi I dan Komisi III DPR RI.
Namun, prosesnya memakan waktu lama karena terdapat benturan dalam poin-poin yang ada pada Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan 43 H revisi UU 14 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme khusunya dalam frasa 'operasi militer'.
"Yang akan dibingungkan terkait benturan dua peraturan ini adalah presiden," ujar Direktur Imparsial, Al Araf dalam diskusu bertema 'Nasib Pembahasan Revisi UU Anti-Terorisme di DPR', di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Baca: Presiden Jokowi Resmikan Ruas Tol Ngawi-Wilangan Sepanjang 49,51 Kilometer
Ia menyampaikan keheranannya tentang dua peraturan perundang-undangan yang membahas tugas penegak hukum.
"Saya juga heran, mengapa membuat sesuatu yang sudah diatur?" tanya Araf.
Araf pun menjelaskan tugas TNI terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Ia menerangkan bahwa tugas-tugas sosial bencana alam, operasi perdamaian, membantu pemerintah dalam keamanan masyarakat adalah contoh dari tugas operasi militer diluar peperangan.
Baca: Demo Tolak Kenaikan Harga BBM, Massa Aksi Bakar Pocong di Bogor
"Tidak perlu mempersempit makna 'operasi militer' dengan perang, karena ada tugas-tugas TNI selain perang yang juga masuk dalam penafsiran 'operasi militer' itu," ujar Araf.
Ia menegaskan bahwa poin tentang tugas yang menyangkut terorisme hanyalah satu dalam 14 tugas TNI.
Sebelumnya, terdapat dua tugas yang serupa dan dikhawatirkan berbenturan norma terkait operasi militer dalam UU anti-terorisme tentang TNI dan tentang tindak pidana terorisme untuk penegak hukum (polisi).