Intrans: Jika Calonkan Figur Lain di Pilpres, Prabowo Tersingkir dan Gerindra Bisa Kalah di Pileg
Menurut dia, Gerindra paham betul bagaimana melawan Jokowi, apalagi setelah kemenangan mereka di Pilkada Jakarta.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah dua kali maju sebagai kontestan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
"Dari kedua laga itu, Prabowo Subianto tidak menang, tapi juga tidak sepenuhnya kalah. Dikalahkan SBY ketika mendampingi Megawati Soekarnoputri sebagai Cawapres pada Pemilu 2009," ujar Direktur Institute for Transformation Studies (Intrans), Andi Saiful Haq di Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Namun demikian, Saiful Haq mengatakan Gerindra sebagai partai pendatang baru berhasil mendapat dukungan 4,46% suara dengan persolehan 26 kursi di DPR RI.
Lima tahun kemudian, kekuatan Gerindra sudah berlipat ganda saat Pemilu 2014.
"Sekali lagi, Prabowo Subianto yang saat itu menggandeng Hatta Rajasa harus menelan kekalahan dari pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang unggul dengan 53,15%," ujar Saiful Haq.
Baca: Intrans: Parpol Lama Jangan Gali Kubur Sendiri
Meski hanya mendapat 46,85% suara di Pilpres, namun di Pemilihan Legislatif Gerindra mampu memastikan posisi ketiga dengan perolehan suara 11,81% suara dan 73 kursi DPR RI.
Hanya terpaut tipis dari Partai Golkar yang berada din posisi kedua dengan suara 14,75%.
Intrans yakin Prabowo justru sedang mencapai tahun keemasannya dengan semua yang dimiliki Gerindra hari ini yakni peluang menjadi partai pemenang pada Pileg 2019 sangat terbuka lebar.
"Logika bahwa melawan incumbent itu berat, tidak beralasan sama sekali. Beban Jokowi justru semakin berat, terutama dalam menjaga ekspektasi publik yang begitu tinggi kepadanya," ujar Saiful.
"Kesalahan kecil bisa berakibat fatal di tahun terakhir pemerintahannya," dia menambahkan.
Dikatakan saat ini belum lagi konflik sedang menimpa Golkar, ototatis tinggal PDIP yang menjadi pesaing utama Gerindra.
Dan baik PDIP dan Gerindra sama-sama paham, hanya Jokowi yang bisa menghadang Prabowo.
"Karena itu cukup mengejutkan Megawati Soekarnoputri begitu dini mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai Presiden. Mega tidak ingin bermain dengan waktu. Mega mencium bahaya di depan mata," ujar Saiful Haq.
Menurut dia, Gerindra paham betul bagaimana melawan Jokowi, apalagi setelah kemenangan mereka di Pilkada Jakarta.
"Gerindra malah terlihat grogi dan ragu untuk mendeklarasikan pencalonan Prabowo," ujarnya.
Sebagai mantan Komandan pasukan khusus, Saiful mengatakan harusnya Prabowo Subianto paham betul bahwa syarat memenangkan sebuah peperangan yang besar adalah faktor the causes of war dimana dimana setiap prajurit harusnya tahu, mengapa mereka harus berangkat ke medan tempur.
"Prabowo adalah center of gravity Partai Gerindra. Tanpa Prabowo Subianto di depan pasukan, moralitas tempur dan mesin politik Gerindra akan kehilangan emosi tempurnya," katanya.
Padahal sebagai Partai oposisi selama 10 tahun, lanjut Saiful, Gerindra akan mudah mengakumulasi ketidakpuasan terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Sementara kondisi yang berbeda justru terjadi di kubu koalisi pendukung Jokowi dimana pemilih Jokowi belum tentu suka pada PDIP, mereka punya alternatif lain seperti Hanura, Nasdem, PKB, ditambah dua pendatang baru Perindo dan PSI.
"Suara tidak akan terakumulasi di PDIP, dengan demikian peluang untuk Gerindra semakin terbuka lebar sebagai pemenang Pileg 2019," katanya.
Dan itu hanya bisa terwujud, menurut Saiful, jika Prabowo Subianto berada di barisan paling depan sebagai Capres.
Sehingga, kata dia, Pilpres dan Pileg yang digelar serentak pada April 2019, bisa jadi adalah kondisi yang menguntungkan bagi Gerindra dan Prabowo.
"Peluang untuk mendapatkan dua kemenangan sekaligus yakni Kursi Presiden dan Kursi mayoritas di parlemen, semakin jelas di depan mata," katanya.
"Ketimbang malah mencalonkan figur lain, sangat beresiko kekalahan di dua medan tempur sekaligus. Presiden tak didapat, kursi parlemen tidak signifikan," Saiful Haq menambahkan.