Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pekerja Migran Rentan Jadi Korban Perdagangan Orang

Persoalan prosedural baru akan diketahui setelah yang bersangkutan mengalami masalah di luar negeri

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Pekerja Migran Rentan Jadi Korban Perdagangan Orang
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah massa membentangkan poster saat aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, Selasa (20/3/2018). Aksi tersebut mengutuk dan menolak hukuman mati dalam menyikapi eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia di Arab Saudi yakni Zaini Misrin. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pekerja migran rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), khususnya yang berangkat dengan cara-cara non-prosedural.

Akan tetapi, bukan berarti pekerja migran yang berangkat secara legal akan terbebas dari segala permasalahan.

Karena biasanya, persoalan prosedural baru akan diketahui setelah yang bersangkutan mengalami masalah di luar negeri.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, pekerja migran sangat rentan menjadi korban perdagangan orang karena termakan bujuk rayu dari para pelaku.

“Hampir dari semua kasus perdagangan orang yang dimintakan perlindungannya ke LPSK, terkait dengan rencana mereka untuk dipekerjakan di luar negeri,” ungkap Semendawai dalam jumpa wartawan di ruang Media Centre Gedung LPSK, Jakarta Timur, Kamis (5/4-2018).

Selain Semendawai, kegiatan bertema, “Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri: Peluang Sejahtera Bertaruh Nyawa” dan dihadiri wartawan dari berbagai media televisi, cetak hingga online itu, juga menampilkan dua narasumber berkompeten lainnya, yaitu Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono dan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.

Baca: 20 Pekerja Migran Myanmar Tewas Terpanggang di Dalam Bus di Thailand

Berita Rekomendasi

Menurut Semendawai, LPSK sendiri menangani kasus perdagangan orang terkait pengiriman pekerja migran, seperti pada kasus Anak Buah Kapal Kartigo pada tahun 2013 lalu dimana terdapat 57 orang korban.

Ada pula Erwiana yang disiksa majikannya di Hongkong. Pada kasus Erwiana, yang bersangkutan berani memproses hukum pelaku yang terlibat baik di luar maupun dalam negeri.

Terakhir, mencuat kasus yang menimpa Adelina, dimana pelaku dalam negeri kini tengah diproses.

Sebagai informasi, tahun 2017, LPSK menerima permohonan perlindungan pada kasus perdagangan orang sebanyak 257 orang.

Untuk tahun ini, permohonan perlindungan dari kasus serupa berjumlah 21 orang.

Sedangkan layanan dalam kasus perdagangan orang yang masih berjalan diperuntukkan bagi 257 pemohon, terbagi atas pemenuhan hak prosedural bagi 241 orang, fasilitasi restitusi 193 orang, bantuan medis 23 orang, psikologis 18 orang dan perlindungan fisik 10 orang.

Sestama BNP2TKI Hermono menambahkan, jadi pekerja migran seakan menjadi satu-satunya opsi meningkatkan kesejahteraan, khusus di wilayah Indonesia Timur seperti NTT. Hal ini mengingat tingkat pendidikan yang rendah, lapangan kerja terbatas dan kondisi alam yang tidak subur.

“Tapi, harus diakui, remitansi dari pekerja migran seperti tercatat di BI mencapai Rp117 triliun. Bahkan, di beberapa daerah, remitansi dari pekerja migran bisa dua kali lipat PAD,” ungkap Hermono.

Dalam catatan BNP2TKI, ujar Hermono, jumlah pekerja migran dari jalur resmi cenderung menurun dari 512.168 orang pada 2013, turun drastis menjadi 275.737 pada tahun 2015.

Kemudian kembali turun pada tahun 2016 menjadi 234.451, meskipun kembali mengalami kenaikan pada 2017 menjadi 261.820.

“Sempat menurun akibat adanya moratorium Timur Tengah. Tapi, penurunan jumlah itu tidak diikuti jumlah kasus yang menimpa pekerja migran, bahkan cenderung naik,” katanya.

Kondisi demikian, menurut Hermono yang segera menjabat Duta Besar RI untuk Spanyol itu, lebih disebabkan karena meski angka pekerja migran menurun, tetapi mereka yang berangkat secara ilegal meningkat.

“Sebanyak 90% pekerja migran yang berangkat menggunakan non-prosedural. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya, mulai pencegahan, penegakan hukum dan menyiapkan peraturan perundang-undangan,” tutur dia.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi konsen Migrant Care pada awal 2018, antara lain pekerja migran yang terpapar ideologi radikal serta modus pengiriman siswa untuk magang ke luar negeri.

Namun, ternyata setelah tiba di negara tujuan, mereka malah jadi korban perdagangan orang. “Migrant Care siap ber-partner dengan LPSK agar pekerja migran yang jadi korban TPPO mau menjadi saksi,” ujar dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas