IAW Minta DPR Awasi Kejagung Terkait Penanganan Korupsi di Pertamina
Akibat penyimpangan itu Pertamina mengalami kerugian USD.31,492,851 dan AU$ 26.808.244 atau setara dengan Rp.568 miliar.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Junisab Akbar meminta DPR RI mengawasi kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) usai pengumuman adanya penyimpangan investasi PT Pertamina (Persero) terkait akuisisi (investasi non rutin) pembelian sebagian aset (interest participating/IP) milik ROC Oil Company Ltd di lapangan Basker Manta Gummy (BMG) Australia.
Akibat penyimpangan itu Pertamina mengalami kerugian USD.31,492,851 dan AU$ 26.808.244 atau setara dengan Rp.568 miliar.
"Mengetahui hal itu maka yang patut untuk segera dicermati oleh Komisi III, VI dan XI DPR RI adalah pertama, apakah Kejagung menyidik kasus tersebut berpedoman pada undang-undang keuangan negara," ujar Junisab Akbar di Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Kedua, sambung Junisab, sudahkah Kejaksaan Agung mengacu pada Undang-undang BPK RI saat melakukan penyidikan yang di dalamnya termasuk penghitungan ada atau tidak kerugian terhadap keuangan negara.
Ketiga, khusus kepada Komisi XI DPR RI ada baiknya menelisik audit BPK RI terhitung sejak tahun 2010 terkait proyek investasi tersebut.
"Ini penting sebab kami prediksi kasus ini bisa menimbulkan polemik dari sisi audit keuangan negara," tegas mantan anggota Komisi III DPR RI itu.
Empat, lanjut Junisab idealnya Komisi III DPR RI lebih meningkatkan kemampuan dalam rangka mengawasi kinerja Kejagung.
Sebab publik sudah beberapa kali mengetahui mereka mudah mengumumkan tersangka namun kemudian terbukti tidak berkelanjutan.
Kelima, agar tidak terjadi preseden buruk yang bisa menghantui kalangan BUMN maka Komisi VI DPR lebih memberi perhatian khusus sebab pola investasi seperti itu bukan hal yang umum dlakukan, namun kemudian Kejagung menilai hal itu dengan menggunakan ukuran yang umum.
"Jika DPR RI gagal dalam melakukan pengawasan terkait kasus itu maka bukan tidak mungkin di tahun politik ini akan menimbulkan kekisruhan antar instansi. DPR RI harus menjadi wasit yang tegas agar jangan sampai terjadi 'hegemoni' satu institusi terhadap institusi lainnya," paparnya.
Seperti diketahui, Kamis (5/4/2018) kemarin, Kejagung mengumumkan secara resmi bahwa pada tahun 2009 PT. Pertamina (Persero) yang melakukan kegiatan akuisisi (investasi non rutin) berupa pembelian sebagian aset (interest participating/IP) milik ROC Oil Company Ltd di lapangan Basker Manta Gummy (BMG) Australia berdasar Agreement for Sale and Purchase BMG Project tanggal 27 Mei 2009 senilai US$31,917,228.00 ditemukan ada dugaan penyimpangan dalam pengusulan investasi.
Penyimpangan akuisisi tersebut terjadi karena tidak sesuai dengan pedoman investasi dalam pengambilan keputusan investasi tanpa adanya feasibility study (kajian kelayakan) berupa kajian secara lengkap (akhir) atau final due dilligence dan tanpa ada persetujuan dari Dewan Komisaris.
Dugaan itu disebut Kejagung berdasar perhitungan Akuntan Publik mengakibatkan peruntukan dan penggunaan dana sejumlah US$31,492,851 serta biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) sejumlah AU$ 26,808,244 tidak memberikan manfaat atau keuntungan kepada PT. Pertamina (Persero).
Manfaat atau keuntungan itu dikaitkan Kejagung dalam kerangka penambahan cadangan dan produksi minyak Nasional.
Lalu mereka sebut bahwa hal itu mengakibatkan kerugian keuangan Negara Cq. PT. Pertamina (Persero) sebesar USD. 31,492,851 dan AU$ 26.808.244 atau setara dengan Rp. 568.066.000.000,- (lima ratus enam puluh delapan milyar enam puluh enam juta rupiah).