Perluas Lahan Pertanian Agar Indonesia Jangan Tergantung Impor Pangan
Diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir Siswono Yudo Husodo mengatakan, saat ini pangan Indonesia sangat tergantung pada impor.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia tidak memiliki kemandirian pangan.
Prosentase impor terhadap kebutuhan pangan misalnya, Indonesia menduduki kondisi yang kritis.
"Prosentase impor Bawang Putih dicatat sebesar 90%, Kedelai 63%, Susu 84%, Garam 55%, Beras 5%, Daging Sapi 20%, Gandum 100%, dan Gula 37%," katanya saat Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema Sumber Daya Alam.
Selain Siswono hadir Prof Ir Rachmat Witoelar (Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim), Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Baca: Tak Mau Sebut Nama Buni Yani, Adik Ahok Minta Bantuan Peserta Diskusi
Dikatakannya, bulan Desember 2017, angka impor barang konsumsi mencapai 1,37 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 18,49 triliun, tertinggi sepanjang sejarah untuk hitungan per bulan.
Diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun.
"Langkah yang harus dilakukan Indonesia harus memperluas lahan pertanian untuk memenuihi kebutuhan sendiri," katanya.
Pontjo Sutowo menyatakan, saat ini Indonesia terjadi mismatch antara ketersediaan pangan dengan pertambahan penduduk di Indonesia.
Mismatch tersebut selain timbul karena masalah alamiah juga karena kesalahan kebijakan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri.
"Sayangnya penyebab masalah kesalahan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri tersebut, dirasakan lebih besar," katanya.
Untuk itu kata dia, sudah seharusnya bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial, dapat merencanakan keseluruhan masalah tersebut dengan lebih terpadu, efektif, dan efisien.
"Sehingga bangsa ini mampu mengembangkan pola manajemen strategis yang mumpuni dan dapat menangani masalah-masalah tersebut tidak secara terfragmentasi," kata Pontjo Sutowo.
Namun dalam kenyataannya, hal tersebut belum terjadi.
"Sudah saatnya bangsa ini memikirkan adanya kebijakan yang lebih terpadu guna mengkristalisasikan lessons learned yang sudah diperoleh," katanya.