Negara Harus Menopang yang Lemah
KEIN berpandangan bahwa sistem Ekonomi Pancasila harus mampu mengakomodir kepentingan masyarakat seluas-luasnya.
Editor: Content Writer
Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) berpandangan bahwa sistem Ekonomi Pancasila harus mampu mengakomodir kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Model kebijakan ini telah sejalan dengan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang.
Hal itu mengemuka dalam dialog antara KEIN dengan para pemangku kepentingan di Sumatera Barat, Kamis (17/5) di Padang. Di antara yang hadir adalah akademisi Universitas Andalas, Muhammadiyah Sumatera Barat, Nahdlatul Ulama Sumatera Barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat.
Menurut Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta,sistem Ekonomi Pancasila memiliki tujuan keadilan sosial sebesar-besarnya, sehingga harus mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Oleh karena itu, diperlukan aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat.
“Ini menjadi pintu masuk untuk melihat apakah Ekonomi Pancasila dibutuhkan dan bisa diimplementasikan. Lebih lanjutnya, masukan-masukan tersebut nantinya akan disusun dalam kebijakan ekonomi berlandas Pancasila untuk menjadi acuan bagi penyusun kebijakan sesuai dengan cita-cita bangsa,” jelasnya.
Dia menuturkan kebijakan ekonomi itu akan mencakup kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan riil.
Kebijakan tersebut akan memiliki ciri khas ekonomi yakni Ekonomi Pancasila sebagai ruh ekonomi konstitusi, tidak antipasar dan negara mendukung serta menopang pelaku pasar yang lemah dan terlemahkan.
Kebijakan tersebut selaras dengan kebijakan pemerintah saat ini yang telah berorientasi pada kesejahteraan sosial untuk menekan ketimpangan dan meningkatkan keadilan.
“Program-program yang berdasar pada keadilan ekonomi memiliki dua orientasi baik terhadap akses dan juga aset di seluruh aspek kehidupan karena aset saja tidak cukup tapi perlu juga dukungan lainnya sehingga hidup masyarakat bahagia, sejahtera, dan merdeka,” ucap Arif.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Andalas Syafrudin Karimi mengatakan pemusatan kepemilikan aset pada segelintir orang menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan Sistem Ekonomi Pancasila.
Berdasarkan data CreditSuise 2017 menyebutkan 1 persenorang terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Indonesia berada di urutan keempat setelah Thailand, Rusia, dan China dari sisi kondisi ketimpangan.
Menurutnya untuk menekan ketimpangan tersebut dapat melalui peraturan mengenai redistribusi aset. Aturan itu nantinya mengatur kekayaan minimun yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Setelahnya, barulah diikuti dengan kredit murah, akses pasar, dan perlindungan.
“Bikin saja RUU tentang redistribusi aset. Kalau belum ada aset bermanfaat belum ada demokrasi ekonomi yang adil dan beradab serta persatuan bangsa,” jelas Syafrudin.
Oleh karena itu, Syafrudin menegaskan demokrasi ekonomi menjadi penting. Pasalnya, konsolidasi perekonomian tidak mungkin terjadi jika demokrasi ekonomi tidak diciptakan.
Sementara itu, Ketua Pemimpin Wilayah Muhammadiyah Sumatra Barat Sofwan Karim mengatakan penentuan harga di pasar ditentukan oleh tengkulak, bukan antara produsen dengan pembeli. Hal ini membuat pasar tidak sempurna dan cenderung menguntungkan segelintir pihak.
“Jadi bisa digambarkan bahwa di pasar saja terjadi asimetris informasi yang sudah tidak mencerminkan Ekonomi Pancasila,” ucapnya.(*)