Ahli Hukum Tata Negara Indonesia Nilai UU BUMN Bertentangan dengan Konsep IRI
UU BUMN bertentangan dengan konsep Indonesia Raya Incorporated (IRI) yang diajukan para pemohon
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Universitas Udayana, Prof. DR. Yohanes Usfunan, satu dari 21 Ahli Hukum Tata Negara Indonesia yang bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016, menyatakan, rumusan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya Pasal 2 ayat 1 (b) dan juga Penjelasannya, adalah kabur atau tidak jelas.
Hal ini berdampak pada kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang (abuse of authority) yang merugikan hak-hak konstitusional masyarakat (termasuk Para Pemohon) dan merugikan Negara.
Rumusan yang tidak jelas atau kabur itu juga berdampak pada perhatian BUMN terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak seutuhnya atau “perhatian setengah hati”.
Karena itu, sebagai konsekuensinya, UU BUMN bertentangan dengan konsep Indonesia Raya Incorporated (IRI) yang diajukan para pemohon gugatan, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dan AM Putut Prabantoro, yang menginginkan adanya pemerataan kemakmuran rakyat yang dicapai melalui pembangunan ekonomi nasional terintegrasi.
Penegasan Yohanes Usfunan diungkapkannya dalam kapasitas sebagai saksi ahli kedua pemohon dalam sidang gugatan uji materi UU BUMN di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/5/2018).
Pasal UU BUMN yang dipermasalahkan para pemohon adalah Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b) tentang maksud dan tujuan pendirian BUMN, serta Pasal 4 ayat 4 tentang perubahan penyertaan keuangan negara yang diatur melalui melalui Peraturan Pemerintah.
Konsep IRI yang merupakan usulan dari AM Putut Prabantoro, dijadikan sebagai alat bukti legal standing oleh para pemohon uji materi. Konsep IRI ini pertama kali muncul dalam buku “Migas - The Untold Story” tulisan AM Putut Prabantoro yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014.
Konsep pemerataan kemakmuran itu juga diangkat sebagai topik Taskap (tugas akhir) PPSA XXI Lemhannas RI oleh AM Putut Prabantoro dengan judul “Pembangunan Ekonomi Nasional Terintegrasi Guna Pemerataan Kemakmuran Rakyat Dalam Rangka Ketahanan Nasional”.
“Karena rumusan Tujuan Pendirian BUMN kabur, sebagai konsekuensinya, UU BUMN bertentangan dengan konsep IRI. Konsep IRI ini menginginkan adanya pemerataan kemakmuran rakyat yang dicapai melalui pembangunan ekonomi nasional terintegrasi, sebagai perkawinan antara BUMN Pusat dan BUMD serta BUMdes dalam suatu sumber ekonomi yang melibatkan penyertaan modal dari BUMD/BUMDes seluruh Indonesia,” tegas Usfunan.
Konsep IRI ini, Usfunan menjelaskan lebih lanjut, berkaitan dengan pemerataan kemakmuran ekonomi yang merupakan pengejawantahan pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan demikian, tujuan mengejar penerimaan negara dan keuntungan dari suatu pendirian Badan Usaha Milik Negara, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Doktor Hukum dari Universitas Airlangga ini, kekaburan rumusan tidak hanya terletak pada Pasal 2 ayat 1 (b) yaitu mengejar keuntungan, tetapi juga terletak pada Penjelasan Pasal 2 ayat 1 (b). Rumusan ketentuan huruf b Pasal 2 ayat (1) tersebut, secara eksplisit jelas mengenai eksistensi BUMN yaitu, untuk mencari keuntungan.
“Dengan rumusan seperti itu, kemungkinan BUMN mengabaikan (tidak memprioritaskan) kepentingan umum yaitu kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Apalagi, Usfunan menandaskan, kegiatan mencari keuntungan oleh BUMN seperti itu tanpa pengawasan DPR, maka tidak menutup kemungkinan menimbulkan tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang “abuse of authority” yang merugikan hak-hak konstitusional masyarakat (termasuk Para Pemohon) dan merugikan Negara,” ujarnya.
Sebaliknya, rumusan Penjelasan Ketentuan tersebut juga kabur, demikian diurai lebih lanjut oleh Usfunan, oleh karena itu tidak sepenuhnya BUMN memperhatikan kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal tersebut dapat dipahami dari rumusan,”Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum,” Ini berarti perhatian BUMN terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak seutuhnya “perhatian setengah hati”.
“Di sinilah letak pertentangan antara UU BUMN dan Konsep pemerataan kemakmuran dalam konsep IRI yang dicapai melalui pembangunan ekonomi nasional terintegrasi,” ujar Guru Besar Universias Udayana ini.
Terkait pertentangan antara UU BUMN dan Konsep IRI, Usfunan menjelaskan dengan mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, Nomor 012/PUU-2003 dan Nomor 21-22/PUU-V/2007 secara garis besar menyatakan Pasal 33 ayat (2) dan (3) tentang pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Hal ini termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Lebih jauh lagi, rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Oleh karenanya, jelas bahwa sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Eksistensi Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 erat kaitannya dengan implementasi dan pemenuhan hak asasi manusia rakyat Indonesia yang termuat beberapa pasal di UUD NRI 1945.
“Diberlakukannya Pasal 2 ayat 1 huruf (a) dan (b) serta Pasal 4 ayat (4) UU BUMN, melanggar HAM absolut sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 yang menentukan, Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Terjadinya pelanggaran HAM absolut semacam itu, menurut Prof Usfunan, karena tidak terpenuhinya jaminan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hingga kini masih ada kesengsaraan hidup, kemiskinan, kelaparan di tanah air yang memprihatinkan.
Seandainya, mayoritas BUMN secara sunguh-sungguh diarahkan untuk memberi perhatian terhadap kesejahteraan dan kemakmuran, maka kemiskinan dan kesengsaraan rakyat dapat diatasi.
Hanya, sesuai dengan catatan para pemohon, demikian saksi ahli ini mengutip, portofolio BUMN sampai dengan akhir 2016, dari sebanyak 118 BUMN yang ada hanya sebanyak 14 BUMN yang tercatat sebagai Perusahaan Umum (Perum) dengan tujuan utama menyelenggarakan kemanfaatan umum.
Sebaliknya, 104 BUMN sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) termasuk 20 BUMN diantaranya sebagai perusahaan publik.