Politisasi Isu Korupsi di Tahun Politik, Siapa yang ''Bermain''?
Tahun politik sudah menyeruak. Ini karena pada 2018 Indonesia akan menggelar 171 pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun politik sudah menyeruak. Ini karena pada 2018 Indonesia akan menggelar 171 pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung.
Berlanjut ke tahun berikutnya pesta demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Yang pasti akan menghangatkan kompetisi bahkan memanaskan dunia politik Tanah Air.
Baca: Tabrak Kapolsek untuk Menghindari Razia, Begini Nasib Pengendara Motor di Palembang
Anggota Komisi III DPR sekaligus politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan, menyinggung lembaga penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai alat politisasi.
Menurutnya, jangan sampai KPK terkesan politisasi dalam hal penegakan hukum. Jangan ada kesan kriminalisasi atau pembusukan karakter.
Jangan ada kesan penegakan hukum ini sebagai alat pemenangan atau lembaga penegakan hukum sebagai mesin pemenangan salah satu pasangan calon (paslon).
"Untuk yang namanya pidana pemilu silakan, kapan saja boleh. Tapi diluar pidana pemilu dan OTT (Operasi Tangkap Tangan) kita mohon penegakan hukumnya dapat dilangsungkan setelah tanggal 27 juni 2018. Kenapa? Biar semuanya hening. Sudah tahu yang menang yang kalah siapa," ujarnya di Kantor KMI, Senin (4/6/2018).
Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik Donal Fariz, menyatakan sebab akibat antara proses hukum dengan demokrasi, harusnya proses politik yang berjalan tidak perlu menegasi proses hukum yang berjalan.
Tambahnya, Indonesia adalah negara hukum. Oleh sebab itu proses yang sedang berjalan seperti kontestasi pilkada itu seharusnya tidak mempengaruhi proses hukum, oleh lembaga penegak hukum seperti KPK.
"Dan kerisauan yang ada justru menunjukan selama ini kegiatan-kegiatan politik terus berjalan sekalipun proses hukum KPK terus berjalan. Jadi bahwa fakta proses hukum oleh KPK akan menghambat proses atau menggaggu proses politik itu dapat di bantah," ujar Donal.
"Sekali lagi dasarnya secara konstitusi kita negara hukum bukan negara politik," tambahnya.
Atas pernyataan Arteria, Donal menanggapi bahwa justru politisasi paling banyak dilakukan oleh Zoon Politikon (aktor politik).
"Partai politik, kandidat, jaringan tim sukses mereka melakukan aksi saling lapor agar kemudian menjadi headline pemeberitaan. Harapannya cuma membuat lawan politik menjadi headline dia terjerat kasus korupsi," jelas Donal.
"Jadi logika bahwa KPK menjadi sebab kericuhan politik karena proses hukum yang dilakukan itu adalah keliru, karena faktanya adalah bahwa kelompok-kelompok politik saling jegal, saling melakukan aksi pelaporan agar mendowngrade elektabilitas lawan secara politik," tambahnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terang Donal, Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2015 berada pada angka 72,82 sedangkan tahun 2017 di angka 70,09.
Penurunan tersebut, jelas Donal, salah satu faktornya ialah dari partai politik itu sendiri.
"Salah satunya adalah parpol ini yang membuat elemen indeks demokrasi BPS maupun yang diolah oleh Kementerian Polhukam turun. Parpol itu menjadi salah satu faktor yang paling mendowngrade indeks demokrasi karena disitu terjadi demokratisasi ditubuh partai, beda pendapat dipecat, penentuan siapa yang diusung menjadi kepala dipartai juga tidak jelas. Itu membuat indeks demokrasi turun," tutur Donal.