Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mahfud MD: Negara Harus Gunakan Semua Perangkat Hukum Hadapi Gejala Radikal

Mahfud berpandangan bahwa ideologi di Indonesia mulai berubah setelah pendatang baru

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Mahfud MD: Negara Harus Gunakan Semua Perangkat Hukum Hadapi Gejala Radikal
Mahfud MD 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahmakah Konstitusi (MK) Mahfud MD melihat munculnya bibit-bibit radikalisme yang berdasar agama itu disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, memang ada orang yang secara ideologis menganggap agama Islam itu harus menjadi dasar Negara ada, namun jumlahnya itu sedikit karena kalah didalam forum resmi maupun tidak resmi.

Mahfud berpandangan bahwa ideologi di Indonesia mulai berubah setelah pendatang baru yang lahir sesudah kemerdekaan.

Menurutnya, mereka sudah tahu Indonesia sudah merdeka lalu belajar luar negeri lalu membawa paham luar negeri seakan-akan menganggap bahwa pancasila itu salah, system pemerintahan salah, dan sebagainya.

“Ini karena anak-anak ini tidak tahu sejarah kebersatuan kita bahwa dulu Negara ini dibangun secara bergotong royong, tanpa memperhitungkan siapa yang lebih besar siapa yang lebih kecil besatulah kita menjadi Indonesia,” kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/6/2018).

Menurutnya, para pendiri bangsa ini telah menyepakati Pancasila adalah ideologi satu-satunya dansudah didiskusikan oleh pendiri bangsa.

Saat ini konsep bahwa Negara kita ini bukan Negara agama tetapi Negara berke-Tuhanan.

Berita Rekomendasi

Oleh sebab itu, kata dia, pengaruh agama itu harus rukun bersatu dan memberi spirit secara bersama-sama kepada jalan pemerintahan bangsa dan Negara.

Mahfud mengungkapkan, ada gerakan Islam eksklusif yang memang agak kurang cocok dengan paham kenegaraan Pancasila.

Gerakan Islam eksklusif itu sekarang ada tiga yakni pertama berbau radikal yang disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

HTI itu, kata Mahfud, adalah gerakan resmi yang memang sejak awal didirikan untuk mengganti Negara Pancasila.

Kedua adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu berdirinya tidak ingin mengganti Negara Pancasila tapi ingin memberlakukan hukum Islam sebagai hukum resmi negara.

Ketiga ada komite persiapan pemberlakuan syariat Islam Indonesia ini tidak radikal tetapi eksklusif.

“Tidak radikal itu artinya karena dia berfikir hukum Islam tidak mungkin berlaku secara nasional maka untuk sementara diberlakukan di daerah-daerah yang partai Islam-nya kuat dan DPRD nya dikuasai oleh orang Islam bentuknya berdasar syariah yang banyak ditentang orang di tahun 2006 dan seterusnya itu," katanya.

Mahfud mengakui, dahulu penulis-penulis asing itu sudah mulai mengingatkan ketika reformasi tahun 1998 gerakan-gerakan ini muncul secara menguat diberbagai kampus.

Tahun 1998, bahkan menjelang Soeharto lengser sudah muncul organisasi-organisasi yang berbau agama itu kemudian menawarkan ideologi baru yang kemudian pengikutnya banyak.

Sehingga yang terjadi saat ini merupakan buah dari 20 tahun yang lalu yang banyak pihak sudah memperingatkan karena begitu menjatuhkan Soeharto lalu alergi menyebut Pancasila.

“Pidato-pidato tentang Pancasila ,selogan-selogan di televisi tidak ada lagi, di sekolah-sekolah tidak ada upacara lagi tidak ada hafalan Pancasila gitu orang dianggap sudah demokrasi tidak perlu lagi belajar sesuai ideology. Sesuai ideologi, kemudian pemahaman keagamaan yang sempit tumbuh berkembang di kampus-kampus, nah ini hasil muncul sekarang,” katanya.

Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian hasil survey yang dilakukan oleh Saiful M mengejutkan 87 persen memang masih menghendaki Negara Pancasila.

Namun 9 persen menghendaki Negara Islam jumlahnya tidak kurang dari 24 juta orang merupakan jumlah yang besar.

Menurutnya, bangsa ini memiliki hutang sejarah yaitu pada awal reformasi terlalu liberal.

Selanjutnya memunculkan kebebasan yang berlebih-lebihan ,malu menyebut ideologi Pancasila lalu muncul paham-paham yang seperti sekarang ini.

Hal itu harus segera dihadapi dengan cara yang sangat bijaksana untuk kebersatuan bangsa Indonesia.

Cara bijaksana itu tidak perlu diperlakukan ecara kekerasan tetapi dilawan secara seimbang.

“Kalau adu logika ya adu logika secara terbuka. Nah kalau adu berisik dilayani juga dengan berisik tetapi jangan sampai menimbulkan perpecahan gitu aja, kalau ada debat keras layani dengan debat keras yang gerilya lakukan dengan gerilya jadi diimbangin tetapi tetap Negara tidak boleh melakukan kekerasan politik terhadap mereka yang berbeda pendapat,” jelasnya.

Namun dengan pandangan Negara itu harus diluruskan kecuali kalau melanggar hukum.

Mereka yang melakukan kekerasan politik, membuat teror-teror politik dan sebagainya itu bisa ditindak sesaui hukum yang berlaku.

“Sebaiknya Negara ini menggunakan semua perangkat hukum yang ada untuk menghadapi setiap gejala radikal,” katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas