MK Kabulkan Sebagian Permohonan Uji Materi Undang-Undang MD3
"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman
Penulis: Yanuar Nurcholis Majid
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagaian gugatan permohonan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (28/6/2018).
Baca: Ganjar Pranowo Tak Permasalahkan Posisi PDIP Dalam Hasil Pilkada Serentak 2018
Dalam pemohon perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang diajukan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), menggugat pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 yakni Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6), tentang mekanisme pemanggilan paksa setiap orang yang mangkir dari pemanggilan DPR.
Kemudian, Pasal 122 huruf l mengenai langkah hukum dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap penghina kehormatan anggota dan kelembagaan DPR.
Baca: Anies Perintahkan Jajarannya Periksa Rumah Warga yang Pelihara Hewan Buas
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima inkonstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6), dan Pasal 122 huruf l.
Sementara pasal 245 ayat (1) terkait pemeriksaan wakil rakyat yang mesti didahului pertimbangan Mahkamah Kehormatan DPR sebelum disetujui secara tertulis dari Presiden.
Pada pasal tersebut MK menolak permohonan seluruh dalil inkonstitusionalitas Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dengan memberikan norma baru.
Baca: Jusuf Kalla Tak Persoalkan Gugatan Tentang Masa Jabatan Wakil Presiden Tidak Diterima MK
Dalam putusan terkait Pasal 245 ayat (1), MK juga meniadakan peran MKD sebagai pemberi pertimbangan untuk memeriksa anggota DPR sebelum disetujui oleh presiden.
Sebab hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi MKD sebagai lembaga pencegahan, pengawasan, dan penindakan pelanggaran etika.
Sehingga MK memilih untuk mengubah Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sehingga kini berbunyi, 'Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tak sesuai tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.'
Selain itu, terkait Pasal 73, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan kewenangan pemanggilan paksa dapat menciptakan rasa takut masyarakat.
Alhasil, dalil pemohon bahwa kewenangan pemanggilan paksa itu dapat menjauhkan hubungan anggota DPR dengan konstituen dapat menjadi kenyataan.
Selain itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra, yang membacakan pertimbangan Pasal 122 huruf l, menyatakan MKD tidak berhak mengambil langkah hukum lain terhadap pihak eksternal.
Sebab pada dasarnya, MKD hanya menegakkan etika dan perilaku anggota DPR.
"Dengan demikian pihak eksternal tidak dapat dituntut oleh lembaga penegakan etika internal seperti MKD," tutur Saldi.