Barang Rampasan Diserahkan KPK kepada Kejagung, Ini Alasannya
Sementara satu unit rumah di Jakarta berasal dari perkara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menerima barang rampasan perkara korupsi yang telah disidangkan dan inkrah atau berkekuatan hukum lengkap, dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengenai hal itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan alasan dibalik pemberian barang rampasan yang telah menjadi aset negara tersebut.
Prasetyo mengatakan barang rampasan itu akan dioptimalkan penggunaannya untuk mendukung operasional Kejagung. Harapannya, Kejagung bisa melakukan penghematan biaya operasional.
"Dengan penyerahan yang istilahnya PSP (Pengalihan Status Penggunaan) barang-barang rampasan milik negara yang sudah diputus inkrah, untuk penghematan," ujar Prasetyo, di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2018).
Saat ini, barang rampasan yang diterima adalah satu unit rumah di Jakarta dan empat unit kendaraan roda empat.
Namun, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan ada rumah-rumah rampasan perkara korupsi lain yang akan diberikan juga untuk dimanfaatkan dalam waktu dekat.
Prasetyo mengatakan aset itu dapat dijadikan wisma Kejagung di berbagai kota. Dengan begitu, Kejagung dapat menghemat pengeluaran dengan tak menyewa hotel untuk melakukan sidang.
Menurutnya, hal ini yang menjadi perbedaan mendasar antara KPK dengan Kejagung.
KPK melakukan seluruh sidang perkara di Jakarta, sementara Kejagung melaksanakan sidang di ibu kota provinsi.
"Bayangkan jaksa-jaksa di Merauke sidangnya di Jayapura. Yang di Nias sidangnya di Medan. Pak Agus bilang di Medan ada rumah sitaan, ini bisa digunakan sebagai mess untuk jaksa yang sidang di Medan," ungkapnya.
Sekedar informasi, empat unit kendaraan roda empat itu merupakan rampasan yang berasal dari perkara korupsi Bupati Bangkalan Fuad Amin dan mantan Kakorlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo.
Sementara satu unit rumah di Jakarta berasal dari perkara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.