Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sebaiknya Hadirkan Ahli yang Independen pada Sidang SKL BLBI

Menurut Mudzakir, ahli yang independen diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya cacat hukum

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Sebaiknya Hadirkan Ahli yang Independen pada Sidang SKL BLBI
ist
Mudzakir 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, mengatakan para ahli yang independen sebaiknya dihadirkan dalam persidangan perkara dugaan korupsi yang berkaitan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dengan terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menurut Mudzakir, ahli yang independen diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya cacat hukum atau ketidaksesuaian perihal alat bukti yang dihadirkan, dan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Pihak terdakwa atau kuasa hukumnya harus aktif untuk mencari atau mendatangkan ahli yang independen guna membuktikan, misalnya, hasil audit yang dimaksud cacat hukum atau tidak sesuai,” kata Mudzakir menjawab pertanyaan wartawan melalui sambungan telepon, Rabu (8/8/2018).

Masalah independensi ahli itu mengemuka pada persidangan Senin, 6 Agustus 2018. Penuntut Umum KPK ternyata menghadirkan ahli bernama I Nyoman Wara. Nyoman adalah juga auditor BPK yang melakukan audit BLBI.

Penasihat Hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan keberatan. Yusril mengkhawatirkan penilaian Nyoman bisa menjadi tidak objektif karena Nyoman hadir sebagai ahli dan terkait alat bukti juga, yaitu hasil audit BPK.

“Kalau ahli saya tanya, ‘periksa sudah sesuai standar BPK?’, itu tidak bisa dijawab sebagai ahli. Nanti akan menilai pekerjaan sendiri,” ujar Yusril.

Hakim Ketua, Yanto, menyatakan keberatan Yusril bisa disampaikan dan dituangkan dalam pledoi (pembelaan).

Berita Rekomendasi

Mengenai keterangan Nyoman dalam persidangan, dia membeberkan tiga kelemahan dalam perhitungan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) BDNI sebesar Rp28,4 triliun dalam audit BPK tahun 2006, yakni: perhitungan JKPS tanpa melalui Financial Due Diligence (FDD), perhitungan JKPS tidak sepenuhnya didukung oleh bukti dan dokumen yang memadai, dan masih terdapatnya potensial perbedaan serta diperlukan penelusuran lebih lanjut pada saldo utang BLBI.

Namun, terkait penerbitan SKL BDNI, merujuk pada dokumen yang sama seperti diterangkan Nyoman, yakni Audit BPK Nomor 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 yang berjudul Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Dalam Rangka Pemeriksaan Atas Laporan Pelaksanaan Tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pada halaman 63, tertulis: “...BPK-RI berpendapat bahwa SKL tersebut layak diberikan kepada PS (Pemegang Saham) BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia) karena PS telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.”

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas