Anwar Budiman: Rakyatlah Hakim yang Bijaksana
Dalam putusannya, MA membatalkan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g PKPU No 20/2018, serta Pasal 60 huruf j PKPU No 26/2018.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketika upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghadirkan keadilan kepada publik terpatahkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Agung (MA), rakyatlah yang akan menjadi hakim yang adil dan bijaksana.
“Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, sehingga kita yakin rakyatlah yang akan menjadi hakim yang adil dan bijaksana,” ungkap Dr Anwar Budiman SH MH, praktisi hukum dan pengamat politik, di Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Kamis (13/9/2018) lalu, MA mengeluarkan putusan terkait judicial review (uji materi) Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, dan PKPU No 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Kedua PKPU ini melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual anak menjadi calon anggota DPR RI, DPRD dan DPD RI dalam Pemilu 2019.
Dalam putusannya, MA membatalkan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g PKPU No 20/2018, serta Pasal 60 huruf j PKPU No 26/2018.
Dengan kata lain, MA memperbolehkan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu tahun depan. Kedua PKPU itu dinilai bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya, yakni UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MA juga menganggap materi PKPU No 20/2018 dan PKPU No 26/2018 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 71/PUU-XIV/2016 yang memperbolehkan mantan narapidana menjadi caleg, sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya mantan terpidana.
Anwar mengaku, sejak awal dirinya sudah memprediksi MA akan meloloskan mantan narapidana korupsi menjadi caleg, karena MA selalu berpatokan pada aspek legal formal. “Bila berpatokan pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana status UU No 7/2017 lebih tinggi daripada PKPU No 20/2018 dan PKPU No 26/2018, maka Bawaslu-lah yang benar, dan ternyata hal itu diamini MA,” jelas advokat kelahiran Jakarta 1970 ini.
Menurut Anwar, ada dua hal mengapa sebuah produk hukum atau peraturan perundang-undangan disebut absah pemberlakuannya. Pertama, katanya, secara substansi, yakni materi perundangan yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya; dan kedua, formal atau proseduralnya, yakni sesuai dengan peraturan atau tidak.
“Keputusan MA itu sudah sesuai dengan UU No 12/2011. PKPU itu secara formal atau prosedural menabrak peraturan di atasnya,” tegasnya.
Peserta pemilu, lanjut Anwar, adalah seluruh warga negara Indonesia, sesuai amanat UU No 7/2017.
“Bila KPU mau membuat batasan tentang peserta pemilu, yakni mantan narapidana korupsi tak boleh ikut pemilu, maka hal itu harus diatur dalam UU. Maka UU Pemilu perlu direvisi,” cetusnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan puluhan eks-narapidana korupsi sebagai caleg Pemilu 2019. Padahal, nama-nama mereka sudah ditolak KPU. Bawaslu berpegang pada UU No 7/2017 yang tidak melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg asal sudah mengumumkan statusnya itu ke publik, sebagaimana dimaksud Pasal 240 ayat (1) huruf g.
Setelah “didamaikan” Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Selasa (4/9/2018), perselisihan antara KPU dan Bawaslu disepakati diselesaikan di MA.