Dugaan Pelanggaran Kampanye Ratna Sarumpaet Masih Dalam Proses Kajian Bawaslu
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) mengaji laporan dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan aktivis, Ratna Sarumpaet.
Penulis: Glery Lazuardi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) mengaji laporan dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan aktivis, Ratna Sarumpaet.
Sejauh ini, lembaga pengawas pemilu itu sudah menerima dua laporan. Laporan pertama dari Garda Nasional Untuk Rakyat (GNR).
GNR melaporkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke Bawaslu RI, karena disinyalir melakukan kampanye hitam melalui penyebaran informasi hoaks mengenai penganiayaan, Ratna Sarumpaet.
Baca: Batas Pencarian Korban Bencana di Sulteng Ditetapkan Berakhir Pada 11 Oktober 2018
Laporan kedua dari DPP Projo yang melaporkan dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto ke Bawaslu RI.
Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifudin, mengatakan masih banyak hal yang perlu diklarifikasi mengenai pelaporan tersebut. Salah satu diantaranya, keterangan Ratna Sarumpaet.
"Masih belum register. Sedang dicek kekurangan apa informasi. Setelah register baru bisa melakukan proses selanjutnya," kata Afifudin, ditemui di kantor Bawaslu RI, Senin (8/10/2018).
Setelah menerima laporan, pihaknya akan memberikan kesempatan kepada pelapor untuk melengkapi laporan selama tiga hari. Lalu, apabila laporan itu diterima maka, Bawaslu RI mempunyai waktu 14 hari untuk mengaji.
Baca: Amanda Rawles Ga Bosen Sering Bermain Film dengan Jefri Nichol
Sampai saat ini, dia mengaku, belum dapat mengungkapkan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Ratna.
"Kami masih menunggu langkah yang bisa kami ambil setelah tim kami mengaji. Yang pasti akan kami tindak lanjut," kata dia.
Hanya saja, dia mengungkapkan, mengenai aturan di Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memuat hal-hal yang dilarang bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu.
Namun, dia masih mengkaji, apakah sangkaan mengenai pelanggaran terhadap Pasal 280 UU Pemilu itu sesuai dan tepat untuk diterapkan di kasus Ratna Sarumpaet.
"Kami belum bisa berkesimpulan, karena masih penanganan pelanggaran. Yang pasti beberapa informasi kuncinya, kami belum diterima oleh penanganan pelanggaran, sehingga kami masih dalam tahap kajian untuk mendapatkan informasi itu," kata dia.
Apabila ditemukan pelanggaran, maka pihaknya akan bekerjasama dengan instansi terkait, seperti Polri. Untuk pidana pemilu, dia menegaskan, baru domain Bawaslu.
"Apakah bisa masuk ke pidana pemilu atau tidak itu masuknya ke domain kami. Domainnya pelanggaran ITE dan lain-lain tentu ke polisi atau instansi lainnya," tambahnya.
Sebelumnya, pakar Hukum Tata Negara dari UNS Surakarta, Agus Riewanto, menilai perbuatan Ratna memenuhi unsur pidana. Sedangkan, untuk sejumlah politisi terkait dapat dijerat pidana jika memenuhi unsur niat dan tindakan yang dilakukan.
"Ratna menyampaikan kebohongan diawali mengelabuhi anak di rumah. Kemudian menyampaikan secara lisan ke Prabowo Subianto, Amien Rais, dan Fadli Zon. Saat ini tinggal polisi apakah sudah menemukan dua unsur ini," kata dia.
Mengingat dampak informasi hoaks itu menghebohkan nasional, maka dia menyepakati, tanggal 3 Oktober sebagai hari hoaks nasional.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Andra Bani Sagalane juga menyepakati itu. "Usulan hari Anti Hoax Nasional tentu saya sepakat," kata dia.
Usulan hari anti hoaks nasional pertama kali disampaikan Wasekjen DPP PPP, Achmad Baidowi. Usulan itu disampaikan untuk mencegah kebohongan massal terulang.