PS Desak Revisi Pasal Sekolah Minggu di RUU Pesantren
Di sisi lain, karakteristik pesantren dan sekolah minggu itu tidak sama. Akan menimbulkan masalah jika keduanya diperlakukan sama.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung hadirnya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini namun dengan beberapa catatan. PSI menyadari keberatan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Misalnya, terkait Pasal 69 ayat 3 di RUU tersebut yang menyatakan pendidikan sekolah minggu dan katekisasi diselenggarakan dengan peserta paling sedikit 15 orang.
Baca: ICMI: RUU Pesantren Sebaiknya Didialogkan Bersama Lagi
“Semangatnya bagus, bermula dari keinginan memberikan political recogniction kepada lembaga pendidikan nonformal, terutama pesantren,” kata juru bicara PSI, Dara A Kesuma Nasution, dalam diskusi “Sekolah Minggu dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan” di DPP PSI,Selasa (30/10/2018).
Selanjutnya juga ada keberatan pada Pasal 69 ayat 4 yang memuat ketentua bahwa setiap pengajaran non-formal harus dilaporkan dulu ke kementerian agama kabupaten atau kota. “Wajar jika kemudian ada kekhawatiran bahwa hal ini berujung pada birokratisasi pendidikan. Jadi sebaiknya dua pasal itu direvisi,” kata Dara.
Di sisi lain, karakteristik pesantren dan sekolah minggu itu tidak sama. Akan menimbulkan masalah jika keduanya diperlakukan sama.
Baca: Romo Magnis Harap Gereja Bersih dari Aktivitas Politik Jelang Pilpres 2019
Dara menyatakan, ada dua rekomendasi dari PSI. “Pertama, regulasi ini tetap mengatur tentang pesantren dan pendidikan agama lain, tapi harus melalui diskusi panjang yang melibatkan tokoh-tokoh dari semua agama,” kata Caleg DPR RI dari Dapil Sumut 3 ini.
Jika hal tersebut dilakukan, RUU ini akan menjadi produk hukum yang inklusif untuk semua agama di Indonesia. “Rekomendasi kedua, RUU bisa saja kembali ke semangat awal, yaitu hanya mengatur terkait pesantren saja,” ujar Dara.
Dari kalangan Islam sendiri, RUU ini dikhawatirkan bisa menghilangkan keragaman pesantren karena pesantren adalah subkultur sosial kemasyarakatan yang sangat kaya, dengan kekhasan dan karakter masing-masing.
“Jika pesantren diatur secara detail hingga ke level teknis seperti kurikulum, ini akan mengancam keragaman di setiap pesantren di Indonesia,” pungkas Dara.
Hadir juga sebagai pembicara dalam diskusi tersebut yaitu Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Pdt Henrek Lokra, Pengurus Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI, Romo Heri Wibowo, dan Wakil Sekjen PPP dan Tim Penyusun Draft, Abdullah Mansyur.