Pengamat: Aneh dan Menggelikan DPD Minta MK Dievaluasi
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai aneh cara berpikir Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat politik Ray Rangkuti menilai aneh cara berpikir Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ketika meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan evaluasi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
Untuk diketahui, karena putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2008 berbunyi calon anggota DPD tidak boleh berasal dari pengurus Partai Politik. DPD pun memberikan surat ke Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi kepada DPD.
"Aneh dan menggelikan. Apalagi alasan meminta MK dievaluasi hanya karena putusan yang melarang pengurus partai tidak dapat menjadi calon anggota DPD. Aneh dan menggelikan," tegas Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Jumat (2/11/2018).
Menurut Ray Rangkuti, cara berpikir DPD sepertinya tidak mewakili pikiran masyarakat.
Jika mereka peka, imbuh Ray Rangkuti, suara masyarakat justru ramai memperbincangkan manfaat keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita.
"Masyarakat bertanya-tanya apa manfaat langsung lembaga ini terhadap kehidupan politik, sosial, ekonomi masyarakat. Kiprahnya juga jarang terdengar, selain konflik soal ketua DPD," jelas Ray Rangkuti.
Di tengah suasana seperti ini, Ray Rangkuti mengatakan, anggota DPD malah meminta presiden mengevaluasi keberadaan MK.
"Entah suara dan tuntutan siapa yang tengah mereka perjuangkan," ucap Ray Rangkuti.
Baca: Massa Aksi Bela Pembakaran Bendera Longmarch dari Istiqlal ke Istana
Sebab, sepanjang yang diketahui, menurut dia, keberadaan MK banyak membantu warga negara untuk mendapatkan suatu Undang-undang yang lebih berpihak pada aspirasi mereka.
Jika bukan karena peran MK, tegas dia, rasanya banyak produk aturan dalam UU yang sebenarnya tidak mencerminkan pandangan dan suasana yang berkembang di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, dia menilai, keberadaan MK menjadi salah satu benteng bagi kemungkinan lahirnya produk aturan yang bersifat elitis dan pro politisi.
Dia mengingatkan, DPD juga salah satu penikmat keputusan MK.
Yakni, Putusan MK bernomor 79/PUU-XII/2014 yang diajukan DPD telah memberi kewenangan yang makin luas bagi keterlibatan DPD dalam legislasi.
Itulah sebabnya dia menilai, surat DPD kepada presiden untuk mengevaluasi keberadaan MK itu jadi aneh sekaligus menggelikan.
"Masak lembaga yang justru di mata masyarakat kurang memberi manfaat malah minta lembaga negara lain yang sudah dirasakan masyarakat manfaatnya," tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono mengakui baha lembaganya meminta MK ditinjau ulang.
Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan wewenang dan tugas konstitusinya, MK tidak mencerminkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang mengawal penegakan hukum dan konstitusi.
Hal ini disampaikan Nono mengkonfirmasi beredarnya surat dengan mengatasnamakan DPD untuk meminta MK dievaluasi.
DPD meminta untuk dilakukan evaluasi ini karena KPU mencoret Ketua DPD yang juga Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO). Hal itu karena OSO masih terdaftar sebagai pengurus partai politik.
KPU melakukan pencoret DPT itu merujuk hasil putusan MK yang mengeluarkan pernyataan resmi untuk menegaskan bahwa putusan Nomor 30/PUU-XVI/2008 berbunyi calon anggota DPD tidak boleh berasal dari pengurus Partai Politik.
"Mahkamah perlu menegaskan bahwa sepanjang berkenaan dengan pencalonan anggota DPD, jika dalam Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya terdapat calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hasil perolehan suara calon dimaksud," demikian bunyi keterangan MK.
Diketahui surat tertanggal 21 September 2018 dengan tanda tangan Wakil Ketua DPD Nono Sampono menyebutkan bahwa.
DPD menyatakan sikap politiknya untuk segera meninjau kembali keberadaan Mahkamah Konstitusi yang dalam pelaksanan wewenang dan tugas konstitusionalnya tidak mencerminkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewajiban mengawal penegakan hukum dan konstitusi. (*)