Pemilih Milenial Harus Diselamatkan Pemahamannya
Dikatakan jelang pemilu serentak tahun 2019, ada pemilih pemula baru sekitar 14 juta orang, dan ada sekitar 40% pemilih milenial
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Koordinator Jaringan Milenial Anti-Intoleransi dan Anti-Korupsi Alan Singkali mengungkapkan, peraturan daerah berbasis agama tertentu yang menjadi polemik belakangan ini telah menggugah rasa nasionalisme sebagai sebuah bangsa yang utuh.
Sebagai produk hukum, perda berbasis agama, baik perda berdasarkan agama tertentu bertentangan dengan prinsip ekualitas (kesamaan di depan hukum) karena aturan agama tertentu seharusnya tidak berlaku bagi pemeluk agama lain.
"Perda berbasis agama rentan terhadap terjadinya diskriminasi, sebab yurisdiksi hukum mengatur warga dalam sebuah kawasan tertentu, konteks perda, berarti di kawasan suatu daerah," ujar Alan, Minggu (26/11/2018) kemarin.
Baca: Ini Alasan Banyak Kaum Milenial Belum Berpikir Membeli Rumah
Dikatakan jelang pemilu serentak tahun 2019, ada pemilih pemula baru sekitar 14 juta orang, dan ada sekitar 40% pemilih milenial dari total keseluruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Mereka yang disebut milenial ini harus diselamatkan pemahamannya tentang kehidupan berkebangsaan. Politik identitas tidak boleh menjadi konsumsi politik mereka. Oleh karena itu perlu untuk segera menghentikan kriminalisasi terhadap sikap politik atas perda berdasarkan agama tersebut," alumni Universitas Hasanuddin Makassar ini menegaskan.
Sebelumnya Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie Louisa, dilaporkan karena pidato politiknya yang konsisten menolak Perda Injil dan Perda Syariah pada rangkaian acara ulang tahun partai.
"Pasca pidato tersebut, ada banyak partai yang menyatakan mendukung perda-perda berbasis agama. Kami menghimbau pemilih milenial untuk tidak memilih partai yang mendukung perda berdasarkan agama, karena itu tidak sesuai dengan komitmen kebangsaan kita," pungkas Alan.
Baca: Dialog: Janji Kursi Menteri Bagi Generasi Milenial (2)