Intoleransi Politik di Indonesia Meningkat Jelang Pemilu 2019
Berdasarkan hasil temuan, intoleransi politik di Indonesia diperkirakan semakin menguat jelang pesta demokrasi rakyat itu
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LIPI menyampaikan hasil temuan terkait peta politik di Indonesia jelang Pemilu 2019.
Berdasarkan hasil temuan, intoleransi politik di Indonesia diperkirakan semakin menguat jelang pesta demokrasi rakyat itu.
Baca: Masyarakat Diminta Peka terhadap Pesan-pesan Bernuansa Intoleransi
Temuan disampaikan setelah LIPI melakukan survei terhadap 1800 responden di sejumlah provinsi di Indonesia.
"Kami menemukan fakta ada gejala sangat kuat meningkat intoleransi politik. Meskipun pada level sosial masih toleransi," ujar Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir, di diskusi Mekanika Elektoral dalam Arus Politik Identitas di PARA Syndicate, Jumat (7/12/2018).
Dia menjelaskan, penerimaan kelompok masyarakat terhadap kelompok yang berbeda konteks sosial masih cukup baik. Namun, penerimaan terhadap pilihan politik berbeda cenderung rendah.
Dia mencontohkan sebanyak 57,8 persen responden mengatakan hanya akan memilih pemimpin yang menganut agama sama. Hal ini mulai dari pemimpin di tingkat rukun tetangga (RT) sampai Presiden.
"Jadi, kami simulasikan apakah karena kinerja atau apa, tetapi bukan, ternyata agama," kata dia.
Sehingga, kata dia, berimplikasi terhadap potensi individu atau suatu kelompok berupaya mencegah individu atau kelompok lain untuk mengambil pilihan calon pemimpin berbeda.
Kemudian, dia melihat, situasi di Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana sejumlah orang menolak menyalatkan jenazah orang yang berbeda pilihan politik adalah dampak dari itu.
"Jadi bukan sekadar secara pasif memilih hanya seagama, tetapi secara aktif mencegah orang lain memilih pemimpin yang berbeda. Jadi itu masalahnya," kata dia.
Dia melihat ada tiga faktor pendorong intoleransi politik menjadi tinggi. Pertama, adanya perasaan terancam dan tidak percaya terhadap pihak lain yang berbeda.
Faktor kedua, tingginya fanatisme keagamaan yang berbanding terbalik dengan rendahnya sekularitas. Faktor ketiga, papar Amin, penggunaan media sosial.
Menurut dia, media sosial semakin mendorong perasaan terancam, tidak percaya serta fanatisme keyakinan. Dalam hal ini, sebagian responden yang mempercayai isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibicarakan di media sosial.
Baca: PSI Sebut Negara Harus Tangani Langsung Persoalan Intoleransi
Dia menambahkan dari sekian responden menyatakan 54,1 persen menyatakan pernah mendengar berita kebangkitan PKI di media sosial. Dan dari sekian banyak itu 42,8 persen setuju dengan isu tersebut.
"Jadi ada lima dari orang Indonesia itu pernah mendengar kebangkitan PKI, dan 42 persennya berarti 2 atau 3 orang percaya PKI bangkit lagi. Dan mereka mendapatkan itu semua dari media sosial," tambahnya.