Kronologi Penyuapan Oleh Eddy Sindoro ke Panitera PN Jakarta Pusat di Kasus Pailit PT Across Asia
Kasus tersebut berawal dari putusan Mahkamah Agung Nomor 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013 yang memutus pailit PT Across Asia Limited
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan pimpinan Grup Lippo, Eddy Sindoro diduga melakukan suap kepada panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bernama Edy Nasution agar PT Across Asia Limited atau PT AAL bisa mengajukan peninjauan kembali (PK).
Kasus tersebut berawal dari putusan Mahkamah Agung Nomor 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013 yang memutuskan PT Across Asia Limited mengalami pailit atau bangkrut.
Atas keputusan kasasi itu PT Across Asia Limited dipersilakan mengajukan PK namun tak kunjung menyampaikannya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga waktu yang ditentukan yakni 180 hari setelah putusan.
“Namun pada tanggal 15 Februari 2016 terdakwa Eddy Sindoro memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati mengupayakan PK di Pengadilan Negeri Jakpus untuk menjaga kredibilitas PT Across Asia Limited yang sedang berperkara di Hong Kong,” jelas Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam persidangan dakwaan kepada Eddy Sindoro di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).
Namun upaya Wresti tersebut sempat ditolak Edy Nasution dengan alasan waktu pengajuan PK telah lewat.
Tak patah arang Wresti kemudian mengatakan akan memberi hadiah berupa uang kepada Edy Nasution bila membantu memudahkan pengajuan PK.
“Edy Nasution kemudian menyanggupinya dengan meminta imbalan Rp 500 juta di mana permintaan itu kemudian diteruskan Wresti kepada Eddy Sindoro dan Markus Parmadi selaku perwakilan PT AAL,” lanjut JPU KPK.
Baca: Warga Kediri Dihebohkan Temuan Ratusan Buku Beraliran Kiri di Dua Toko Buku di Pare
Kemudian Eddy Nasution dan Markus Parmadi mengajukan kuasa hukum baru bernama Law Firm Cakra & co yang berisi nama-nama Emi Rosminingsih, Sulvana, Agustriadhy, dan Dian Anugerah Abunaim menggantikan kuasa hukum lama yakni Law Firm Marx & co.
Tim kuasa hukum baru ini kemudian menemui Edy Nasution dan meminta salinan putusan kasasi pekara kepailitan PT AAL dengan alasan pergantian tim kuasa hukum tersebut.
Baca: Cerita Mencekam Warga Sebesi yang Terkurung Debu Gunung Anak Krakatau
Kemudian pada tanggal 25 Februari 2016 Edy Nasution memberikan salinan asli putusan kasasi tersebut di mana Agustriadhy juga memberikan uang sejumlah 50 ribu US Dolar kepada Edy Nasution.
Edy kemudian memerintahkan Sarwo Edy dan Irdiansyah untuk memproses pengajuan PK PT AAL sekaligus memberikan uang 4 ribu USD kepada keduanya.
Lalu tanggal 2 Maret 2016 secara resmi PT AAL mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakpus.
“Setelah itu ada keterlibatan Sekretaris MA saat itu Nurhadi yang diduga meminta Edy Nasution untuk segera mengirimkan permohonan PK PT AAL dan akhirnya berkas itu dikirimkan ke MA pada 30 Maret 2016,” jelas JPU KPK.
Setelah itu pada 11 April 2016 KPK menjelaskan ada seseorang bernama Ervan Adi Nugroho menyiapkan uang Rp 50 juta untuk diberikan kepada Edy Nasution melaui Wresti, Wawan Sulistiawan, dan Doddy Aryanto Supeno.
Uang yang dimasukkan ke dalam paper bag motif batik itu akhirnya diserahkan kepada Edy Nasution melalui Doddy pada Rabu, 20 April 2016 di basement Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat.
“Tak lama setelah penyerahan keduanya ditangkap petugas KPK,” tegas JPU KPK.
Eddy Sindoro didakwa melakukan pelanggaran pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Edy Nasution sendiri sudah divonis dengan hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara Doddy Aryanto Supeno divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 150 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.