Pemerintah Diminta Selaraskan Peraturan dari Pusat Hingga ke Daerah
Pemerintah diharapkan cermat menyikapi situasi ketidakpastian iklim usaha hasil tembakau ini.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Stabilitas perekonomian dan iklim investasi pada tahun politik menjadi sorotan serius para pelaku usaha, termasuk industri hasil tembakau.
Pemerintah diharapkan cermat menyikapi situasi ketidakpastian iklim usaha hasil tembakau ini.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Soeseno, sejumlah kementerian telah berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi industri.
Akan tetapi, masih ada sejumlah peraturan di tingkat pusat maupun daerah yang tidak sejalan dengan semangat peraturan dan perundang-undangan nasional.
“Situasi ini menghadirkan ketidakpastian di kalangan industri tembakau yang menjadi salah satu kontributor terbesar perekonomian nasional dan daerah,” kata Soeseno di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat penerimaan negara dari cukai rokok per 6 Desember 2018 mencapai Rp 120,62 triliun atau 81,37 persen dari target Anggaran Pendapatan Negara 2018 sebesar Rp 148,23 triliun.
Sektor ini juga melibatkan sekitar 6 juta orang pekerja baik langsung maupun tidak langsung.
Sejumlah kementerian/lembaga negara perlu diingatkan kembali terkait Instruksi Presiden Nomor 7/2017 yang mengamanatkan setiap kementerian harus selalu berkonsultasi dengan kementerian koordinator terkait.
Instruksi ini terutama diperuntukkan bagi isu yang lintas sektoral agar tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyulitkan masyarakat.
“Saat ini sudah banyak peraturan dan undang undang yang membatasi, sehingga tidak diperlukan lagi regulasi yang lebih ketat yang hanya akan menyakiti para petani tembakau dan menekan industri yang sudah mengalami penurunan,” tegas Soeseno.
Ia menilai, pemerintah sebaiknya fokus mengimplementasikan PP Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan terlebih dahulu agar menjadi rujukan pelaksanaan bagi seluruh pemerintah daerah.
"Dengan demikian, Perda tidak over protektif," jelas Soeseno.
Soeseno melanjutkan, keluaran dari proses pembuatan perda seharusnya seimbang dan memberi solusi agar kesempatan usaha tetap ada. Selain pengaturan kawasan tanpa rokok (KTR), sejumlah daerah telah mengambil inisiatif memberlakukan pengaturan iklan dan larangan pemajangan produk rokok di toko ritel yang bertentangan dengan peraturan nasional.
Baca: Ketua Partai Hanura Minta KPU Kembali ke Jalan yang Benar
Sementara itu, Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan pengaturan KTR harus tetap memperhatikan kepastian usaha agar laju perekenomian tidak terganggu.
"Pengaturan KTR harus proporsional, di mana hak non-perokok dilindungi tanpa menghilangkan kepastian usaha karena akan berdampak pada penerimaan pemerintah daerah maupun pusat," kata Enny.
Perda KTR juga akan memberikan dampak turunan terhadap penyerapan hasil tani dan tenaga kerja lainnya. Enny meminta semua pihak duduk bersama agar tidak ada kelompok yang dirugikan.