Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dinasti Politik Mulai Redup

Hal ini tergambar dari hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 yang berlangsung di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Dinasti Politik Mulai Redup
NET
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hegemoni dinasti politik di dalam sistem pemerintahan Indonesia mulai berkurang. Masyarakat sebagai pemilih mulai mempertimbangkan berbagai hal untuk menentukan pilihan kepada pasangan calon kepala daerah.

Hal ini tergambar dari hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 yang berlangsung di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota.

Baca:  Dihadapan Sang Ibu Gempita Sebut Lebih Sayang Gading Marteen, Begini Tanggapan Gisella Anastasia

 Baca: Parpol Diminta Kurangi Pencalonan Dinasti Politik untuk Cegah Kepala Daerah Korupsi

Banyaknya kekalahan pasangan calon kepala daerah mulai dari pemilihan gubernur sampai pemilihan walikota/bupati yang berasal dari politik dinasti, telah menunjukkan kedewasaan masyarakat di dalam politik.

 Dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang. Dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat di sebuah daerah.

 Pesta demokrasi rakyat di tingkat daerah seharusnya memberikan kesempatan kepada semua orang untuk mengakses jabatan publik baik sebagai gubernur, bupati maupun walikota. Pilkada serentak justru menumbuhsuburkan dinasti politik.  

Baca: Terciduk Bermesraan dengan Irwan Mussry di Belakang Ayahnya, Maia Estianty: Begini Kalau Jatuh Cinta

Berita Rekomendasi

 Muncul, raja-raja kecil di daerah menguasai berbagai lini jabatan di daerah, baik kepala daerah dan legislatif. Sehingga, kekuasaan tetap berada di seputaran keluarga. Kondisi ini menimbulkan dampak negatif, mulai dari hasrat berkuasa yang menimbulkan persoalan di ruang publik dan kerap melahirkan korupsi.

 Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TEPI), Jeirry Sumampow, mengatakan politik dinasti merupakan salah satu persoalan yang belum terselesaikan selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Menurut dia, permasalahan itu tidak dapat diselesaikan melalui regulasi.

 "Isu SARA, politik uang, dan politik dinasti itu problem politik secara umum. Tiga problem itu yang tidak bisa kita selesaikan secara regulasi. Itu (tiga persoalan,-red) sudah 10 tahun kami kampanyekan. Tetapi tidak selesai," ujarnya, Minggu (23/12) lalu.

Baca: Berakhirnya Politik Dinasti

Meskipun dinasti politik tidak dilarang, namun, kata dia, terpilihnya paslon dari dinasti politik bakal berdampak buruk bagi pembangunan di daerah dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 Dia menjelaskan, dinasti politik cenderung memegang semua lini kekuasaan. Sehingga, ini mengakibatkan proses check and balances yang menjadi ciri utama pemerintahan yang baik tidak berjalan."Di suatu daerah misalnya, ada yang kepala daerahnya si suami dan anaknya ketua DPRD. Kalau sudah seperti ini bagaimana pemerintahan bisa diawasi," kata dia.

 Berkaca kontestasi Pilkada 2018, setidaknya terdapat tujuh calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik, memiliki hubungan keluarga dengan incumbent ataupun dengan tokoh politik nasional, seperti di Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.

 Mereka yaitu, pasangan calon Gubernur-calon wakil Gubernur Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin-Giri Ramanda Kiemas, pasangan calon Gubernur-calon wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf-Puti Guntur Sukarnoputri, pasangan calon Gubernur-calon wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun-Hugua.

 Lalu, pasangan calon Gubernur-calon wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah, pasangan calon Gubernur-calon Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Karolin Margaret Natasa-Suryadman Gidot.

Pasangan calon Gubernur-calon wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo-Andi Mudzakkar, dan pasangan calon Gubernur-calon Wakil Gubernur Maluku Utara, Muhammad Kasuba-Madjid Husen.

 Dari tujuh pasangan cagub-cawagub yang memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga dengan pemerintah, hanya ada satu saja pemenang. Pasangan calon Gubernur-calon wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah berhasil unggul atas kandidat lainnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTB merekapitulasi hasil suara menunjukkan pasangan Zul-Rohmi meraih 811.945 suara, disusul pasangan calon H Moh Suhaili FT-H Muhammad Amin atau Suhaili-Amin yang meraih 674.602 suara.

Kemudian pasangan H Ahyar Abduh-H Mori Hanafi atau Ahyar-Mori dengan 637.048 suara dan diposisi terakhir di duduki pasangan H Ali Bin Dahlan-TGH Lalu Gde Sakti Amir Murni atau Ali-Sakti yang meraih 430.007 suara. Jumlah suara tidak sah sebanyak 84.361 dan jumlah suara secara keseluruhan mencapai 2.637.963.

Jika, menarik garis kekerabatan, maka pasangan yang diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat itu mempunyai hubungan dengan Zainul Majdi, Gubernur NTB 2008-2018 (adik Sitti Rohmi Djalilah), Khaerul Rizal, Ketua DPRD Lombok Timur (suami Sitti Rohmi Djalillah), dan Syamsul Luthfi, anggota DPR RI (adik Sitti Rohmi Djalilah).

Sedangkan, kegagalan Ichsan Yasin Limpo memenangkan Pilgub Sulsel menjadi contoh bagaimana hegemoni dinasti politik sudah mulai runtuh. Dia gagal meneruskan tongkat estafet kepemimpinan dari Syahrul Yasin Limpo yang telah memimpin provinsi tersebut selama dua periode masa jabatan. Ichsan hanya menempati urutan ketiga, setelah memperoleh 19,30 dari total suara.  

Melihat fenomena ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pemilih mulai melek politik. Dia menjelaskan, para pemilih mulai memahami manfaat dari pilkada langsung. Hal ini membuat pemilih lebih objektif dalam menentukan pilihan.“Pemilih mulai melek politik. Sadar bahwa hak yang ada pada mereka,” tambahnya.

Jalur Legislatif

 Indonesia menggelar pemilihan umum (pemilu) 2019. Pada tahun depan, untuk pertama kali, negara ini menggelar secara bersamaan pemungutan suara pileg dan pilpres, yakni pada 17 April 2019.

Sorotan mengarah pada persaingan antara pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin menghadapi pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. 

 Baca: Dua Anak Soeharto Mulai Tampil di Panggung Politik, Sinyal Kebangkitan Dinasti Soeharto?

Peperangan’ antara calon anggota legislatif juga tak boleh luput dari perhatian. Mengingat, muncul caleg dari berbagai latar belakang mulai dari figur publik, mantan kepala daerah, hingga kandidat yang berasal dari dinasti politik. Untuk caleg DPR RI, KPU RI menetapkan sebanyak 575 kursi dari 80 daerah pemilihan yang tersebar di 34 provinsi.

 Ketua KPU RI, Arief Budiman, memberikan kesempatan kepada semua orang yang memenuhi syarat pendaftaran untuk mendaftarkan sebagai caleg. Pihak lembaga penyelenggara pemilu itu tidak melarang caleg dari dinasti politik. Sebab, ini tidak diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) atau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.“Kami tidak mengharuskan mereka menulis keluarga siapa, maju dengan siapa saja,” kata Arief.

Bahkan, mantan narapidana korupsi belakangan diperbolehkan maju sebagai calon anggota wakil rakyat. Sebab, Mahkamah Agung (MA) memutus uji materi pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta uji materi Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD.

 MA menyatakan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS).

Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan maju sebagai calon wakil rakyat.Alhasil, Pileg akan menjadi arena ‘pertarungan’, bahkan, untuk anak-anak presiden sepanjang sejarah Negara Indonesia berdiri. Setidaknya lima anak mantan petinggi negara bersaing memperebutkan kursi DPR RI di sejumlah dapil.

 Baca: ICW: Partai Fasilitator Dinasti Politik

Mereka yaitu, Guruh Soekarnoputra (Maju di Dapil Jatim VI dari PDI Perjuangan), Siti Hediati Soeharto (Maju di Dapil I Daerah Istimewa Yogyakarta dari Partai Berkarya ), Hutomo Mandala Putra (Maju di Dapil I Papua dari Partai Berkarya).

Puan Maharani (Maju di Dapil Jateng V dari PDI Perjuangan),  dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Maju di Dapil Jatim VII dari Partai Demokrat).  Mereka ditetapkan KPU bersama 7.963 caleg DPR RI lainnya, pada Kamis (20/9/2018).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas