Permasalahan HAM Sepanjang Tahun 2018
Sepanjang tahun 2018, ada sejumlah peristiwa di beberapa wilayah Indonesia yang disoroti oleh lembaga hak asasi manusia (HAM).
Penulis: Reza Deni
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS,COM, JAKARTA-Sepanjang tahun 2018, ada sejumlah peristiwa di beberapa wilayah Indonesia yang disoroti oleh lembaga hak asasi manusia (HAM).
Sejumlah lembaga yang dimaksud yakni tak hanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saja sebagai lembaga di bawah pemeringah, tetapi ada juga lembaga HAM yang berdiri secara independen atau non-pemerintah.
Berikut beberapa peristiwa di Indonesia yang disoroti oleh sejumlah lembaga HAM:
1. Penembakan Mati 11 Pelaku Kriminal (Extrajudicial Killing)
Kepolisian pada tahun 2018 melakukan tindakan tegas berupa penembakan terhadap puluhan pelaku kejahatan di bebera wilayah di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan pagelaran Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 yang diadakan di Jakarta dan Palembang.
Sejumlah lembaga HAM menyoroti soal peristiwa atau fenomena ini, dan melihat adanya suatu yang tak benar, dengan menyebut istilah extrajudicial killing. Amnesty International Indonesia mencatat ada 77 orang diduga merupakan kriminal yang ditembak mati oleh aparat kepolisian dalam rentang waktu Januari-Agustus.
31 orang, dieksekusi di Jakarta dan Palembang."Penyelenggaraan acara olahraga internasional tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia. Tembak mati harus dihentikan dan semua kasus kematian harus diselidiki dengan cepat dan efektif," kata Direktur Ekeskutif Amnesty International, Usman Hamid, Jumat (17/8) lalu.
Kepolisian membantah apa yang dilakukan pihaknya terkait tindakan tegas kepada terduga pelaku kejahatan merupakan bentuk extrajudicial killing Polri beralasan, selama melakukan tembak ditempak untuk begal, sebelumnya Polri terlebih dahulu menemukan barang bukti kejahatan.
"Ketika ditangkap anggota, dia (begal) menyerah ya kita tidak melakukan tindakan apa-apa, tapi ketika dia melawan ya kami harus membela diri," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, di komplek Senayan, Kamis (19/7) ketika itu.
"Ya jadi bukan extrajudicial. Ini dalam konteks di lapangan dia membawa senjata tajam dan melakukan perlawanan," sambungnya.
Baca: Eksekusi Mati Terhadap Zaini Misrin Melanggar Hak Asasi Manusia
2. Kasus Baiq Nuril
Baiq Nuril merupakan guru SMAN 7 Mataram yang mendapatkan pelecehan seksual dari Muslim, mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Berulang kali Baiq Nuril ditelepon dengan nada yang merendahkannya secara seksual, hingga pada akhirnya Baiq Nuril merekam pembicaraan tersebut.Namun, apa yang dilakukan Baiq Nuril malah berujung petaka baginya.
Baiq Nuril dinyatakan bersalah dan dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE, setelah Muslim memperkarakan kasus ini ke meja hijau hingga berujung pada putusan MA.Baiq Nuril divonis MA hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Komnas Perempuan tak tinggal diam melihat kasus tersebut.
Ketua Komnas Perempuan, Azriana R Manulu mengatakan kejaksaan sebaiknya menunda eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap Baiq Nuril, yang rencananya akan dilakukan pada 21 November 2018. "Apalagi salinan putusannya belum keluar, baru ketikan putusan," ujarnya di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/11) lalu.
Nana, sapaan karibnya, mengatakan, putusan tersebut baru bisa dilaksanakan setelah salinan putusannya disampaikan. "Hukum acara mengatur agar pelaksanaan putusan itu bisa dilakukan setelah salinan putusan disampaikan," ujarnya.
Nana juga sudah berkomunikasi kepada pengacara Baiq Nuril terkait kasus ini."Supaya kasus ini segera dilaporkan karena terduga pelaku itu juga punya kedudukan di Mataram," pungkasnya.
Tak butuh waktu lama, Kejaksaan Agung pun, seperti dikutip dari Kompas.com, telah menunda penahanan Baiq Nuril. "Kita melakukan penundaan eksekusi dengan pertimbangan persepsi keadilan yang berkembang dan terus berkembang di masyarakat,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Mukri, Senin (19/11).
3. Kasus Penembakan Karyawan Transpapua di Kabupaten Nduga
Penembakan karyawan BUMN PT Istaka Karta pada 1 Desember 2018 yang tengah bekerja di sebuah pembangunan jalan di Kabupaten Nduga tak hanya menggegerkan Papua, tapi juga Indonesia Aksi yang dilakukan oleh terduga kelompok separatisme atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) itu menewaskan korban sebanyak lebih dari 20 orang.
"Informasinya 24 orang dibunuh di kamp. Lalu ada 8 orang yang sebelumnya berhasil menyelamatkan diri ke salah satu rumah keluarga anggota DPRD setempat. Kini informasinya 7 orang di antara mereka juga sudah meninggal dunia dan 1 orang berhasil melarikan diri,” kata Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Muhammad Iqbal, Selasa (4/12).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kemudian melakukan penelitian untuk mencari fakta-fakta di lapangan. Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan hal itu di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat.
Melalui perwakilan di Papua, dikatakan Beka, Komnas HAM melakukan pendekatan yang lebih strategis. "Berdasarkan keputusan sidang paripurna, akan mengadakan studi komprehensif untuk bagaimana mencari solusi bagi Papua," ujarnya, Rabu (5/12).
Beka menjelaskan bagaimana aspek-aspek pendekatan yang mengedepankan dari pendekatan keamanan hingga Hak Asasi Manusia. "Baik sipil, hak sipil politik, ekonomi politik, sosial budaya," lanjutnya.
Pendekatan tersebut, dikatakan Beka, tentu juga melibatkan masyarakat Papua, mulai dari masyarakat sipil hingga pejabat."Selama ini kan hanya dari aparat penegak hukum. Kami ingin mencari data dari elemen yang lain," ujarnya.
4. Pembakaran Mapolsek Ciracas yang Dilakukan oleh Oknum Anggota TNI
Pembakaran Mapolsek Ciracas pada Selasa malam yang dilakukan oleh oknum anggota TNI dilandasi permasalahan yang terjadi sebelumnya. Di sebuah ruko Arundina Ciracas, sekelompok juru parkir ruko tersebut terlibat perseteruan dengan seorang TNI yang bernama Kapten Komaruddin.
Berdasarkan rekonstrukai pasca penetapan tersangka oleh kepolisian, Iwan Hutapea, seorang juru parkir merupakan orang pertama yang memicu keributan dengan memukul Kapten Komaruddin terlebih dahulu.
Peristiwa tersebut berbuntut panjang, dan pada malamnya sekelompok massa yang diduga merupakan anggota TNI mendatangi lokasi hingga Mapolsek Ciracas.
Perusakan dan pembakaran pun dilakukan sekelompok massa tersebut. Koalisi Masyarkat untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMRSK) menyoroti peristiwa terasebut.
KMRSK merupakan lembaga non-pemerintah yang terdiri atas Amnesty Internasional Indonesia, Imparsial, KontraS, LBH Jakarta, Setara Institute, dan ILR.
"Hingga saat ini, belum ada kemajuan berarti berupa identifikasi pelaku-pelaku di peristiwa tersebut baik dari pengusutan internal oleh TNI maupun pengsutan secara hukum dari kepolisian," kata Arif Maulana selaku perwakilan LBH Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/12).
Arif menjelaskan pihak KMSK pun meminta kasus perusakan tersebut disusut tuntas dan harus segera dilakukan.
Baca: 10 Ucapan Hari Hak Asasi Manusia Cocok Untuk Update Status WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter
"Karena kalau tidak diusut, maka peristiwa ini jadi gambaran bagaimana penegakan hukum dilecehkan dengan cara membakar simbol penegakan hukum itu sendiri yakni kantor kepolisian," lanjutnya.
KMSK, dikatakan Arif, juga melihat bagaimana penegakan hukum dalam konteks peristiwa pemukulan anggota TNI dan perusakan dan pembakaran Mapolsek Ciracas dilakukan secara berbeda.
Arif mengatakan, pelaku pengeroyokan anggota TNI bisa dibekuk kepolisian secara cepat dalam hitungan hari, tetapi untuk pelaku pembakaran Mapolsek Ciracas justru sebaliknya.
"Harus ada persamaan di mata hukum dalam konteks negara kita negara hukum, dan keberanian polisi sangat ditentukan dalam kasus ini," ujarnya.
Perwakilan Amnesty Internasional Usman Hamid melihat ada keraguan dari kepolisian untuk cepat-cepat mengusut kasus ini.Dirinya mengafirmasi bahwa tidak ada alasan perusakan sebuah lembaga penegak hukum seperti halnya kantor kepolisian. "Kepolisian memiliki kendala struktural dan seringkali kendala psikologi untuk memanggil anggota TNI," kata Usman.
Kepolisian memanggil TNI itu, dari perspektifnya, rasanya seperti memanggil kakak tua dalam warisan sejarah orde baru."Malah justru seringkali anggota TNI yang memanggil petugas kepolisian," pungkasnya.