Pembentukan DKN Dianggap Tidak Berhubungan dengan Politik Pilpres
Sejak tahun 2018 lalu pemerintah terus menggodok berdirinya DKN. Rencananya, DKN akan berisi 17 orang.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan membentuk Dewan Kerukunan Nasional atau DKN bukan untuk menaikkan elektabilitas calon presiden (capres) nomor 01, Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin jelang Pilpres yang sudah di depan mata.
Demikian Ketua Divisi Hukum, Advokasi dan Migrant Care Relawan Jokowi atau ReJo, Kastorius Sinaga Nebraskan saat berbincang dengan wartawan, Minggu (10/2/2019).
Sejak tahun 2018 lalu pemerintah terus menggodok berdirinya DKN. Rencananya, DKN akan berisi 17 orang.
Lembaga tersebut nantinya akan berfokus menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dimasyarakat, termasuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
"Pembentukan DKN tidak berhubungan dengan politik Pilpres. Pilpres telah memiliki mekanisme sendiri," tegas Kastorius Sinaga.
Baca: Anaknya Dirawat di Rumah Sakit, Vicky Shu: Galaunya Melebihi Apapun
Menurut dosen Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Universitas Indonesia (UI) ini, pembentukan DKN bertujuan lebih komprehensif menyentuh akar persoalan bibit konflik, baik di masa lalu maupun ke depan.
Intoleransi dan ancaman disintegrasi secara holistik menjadi domain yang mesti digarap DKN sembari memberikan rekomendasi perubahan kebijakan dan resep penguatan agar kerukunan dan perdamaian terbangun di masa depan Indonesia.
“Indonesia memiliki potensi nyata menjadi negara kuat dari sisi ekonomi dan politik. Syarat utamanya adalah stabilitas dan perdamaian terbangun secara holistik di tingkat domestik” terangnya.
"Bilapun peserta Pilpres atau pendukungnya menjadi target yang harus disentuh DKN karena keterlibatan konflik di masa lalu, itu hanyalah proses. Saya pikir hal itu tak lebih dari sekadar ekses keberadaan DKN agar secara objektif menelisik dan membongkar keterlibatan semua pihak berikut konteks politiknya tanpa pandang bulu. Artinya keterlibatan oknum di dalam konstruksi persoalan sistemik di masa lalu adalah hal yang wajar dan tak perlu dikwatirkan secara berlebihan demi kepentingan bangsa yang lebih luas ke depan” tegasnya.
Artinya, masih menurut Kastorius, proses kerja DKN tidak terbatas secara tendensius hanya pada satu orang atau satu capres saja. Karena, lanjutnya, pelaku pelanggaran HAM dan disain politik konflik di masa lalu yang mungkin bersinggungan dengan penyebab intoleransi dan disintegrasi saat ini biasanya berlangsung secara sistemik di atas kesinambungan vested interest politik sebuah rezim masa lalu.
Membiarkan persoalan ini tertutup dan tetap menjadi sebuah misteri sama dengan membiarkan Indonesia tidak akan bergerak jauh dari sejarah kelamnya.
“Sama seperti bangsa-bangsa lain di dunia yang memiliki masa kelam di masa lalunya, bangsa Indonesia tidak akan pernah menjadi besar (great nation) seperti dicita-citakan dalam konstitusinya bila tidak menyelesaikan persoalan kelam masa lalunya dan tidak belajar dari sejarah. DKN diperuntukkan untuk menyelesaikan agenda ini,” pungkas Kastorius yang juga mantan Penasehat Ahli Kapolri itu.
"Mengaitkan pembentukan DKN sebagai strategi politik menjatuhkan lawan di kontestasi Pilpres adalah pikiran insinuatif yang berprasangka buruk dan kurang melihat kepentingan Indonesia dari sisi yang paling elementer namun luas dan jujur yaitu pertanggung-jawaban moral terhadap sejarah guna menjadi landasan pembangunan martabat bangsa di masa depan,” pungkas Dosen Pascasarjana UI yang menulis disertasi tentang Gerakan LSM di Indonesia dan lulus dengan predikat magna cum laude dari universitas ternama di Jerman itu.