Syahwat Mafia Beras Jelang Pemilu
"Ada mafia pada perdagangan beras, gula, dan garam. Belum juga yang lain-lain, seperti bawang," kata Rizal kepada Tribunnews.com, Rabu (6/2/2019).
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hukum pasar: supply and demand (penawaran dan permintaan) seakan tidak berlaku dalam perdagangan komoditas beras, saat ini. Pasokan berlimpah, surplus; impor tetap berjalan, namun harga justru naik.
Mengapa impor beras dilakukan jor-joran saat musim panen raya, dan apakah ada peran mafia beras untuk meraih rente sebagai upaya pengumpulan dana partai politik menjelang pemilihan umum?
Sejumlah orang kompeten meyakini adanya permainan yang tak tersentuh dalam praktik perdagangan impor beras. Mereka yang meyakini adanya mafia, antara mantan Kepala Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) Rizal Ramli; anggota DPR RI yang lama membidangi pangan, Firman Soebagyo dan perjabat di Kementerian Pertanian.
Rizal Ramli membeberkan soal bagaimana para mafia atau rente di bidang pangan Indonesia menjalankan praktik bisnis tak terpuji.
Saat bertandang ke redaksi Tribun Network di Jakarta Pusat, Rizal menjelaskan ada tiga komiditas bahan pangan pokok yang menjadi permainan para mafia, dengan total nilai impor sekitar Rp 23 triliun.
"Ada mafia pada perdagangan beras, gula, dan garam. Belum juga yang lain-lain, seperti bawang," kata Rizal kepada Tribunnews.com, Rabu (6/2/2019).
Baca: Rizal Ramli Tanyakan Soal Impor Beras ke Kedua Paslon, Prabowo-Sandi Jawab Tidak, Jokowi-Ma’ruf?
Ia melihat ada kelangkaan yang dibuat-buat yang dilakukan oleh para mafia pangan. "Di gula misalnya, wah ini perlu impor untuk gula industri. Pada praktiknya, gula industri itu bocor, diubah sedikit untuk gula konsumen biasa," kata Rizal yang pernah menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, dan selama 11 bulan menajabt Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla.
Bahkan, Rizal mengaku ada 11 pabrik gula baru yang kebanyakan terletak di pelabuhan, tetapi tidak memiliki perkebunan tebu. "Cuma nunggu izin kuota. Gula rafinasi, diproses untuk gula konsumen, untungnya luar biasa. Ada di Jawa, Gorontalo," ungkap Rizal yang pernah Menteri Koordinator bidang Perekonomian, serta Menteri Keuangan Indonesia masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Siapa saja mafia impor beras ini? Apakah melibatkan elite politik, atau birokrat?" tanya Tribun. Rizal meminta Tribun tidak merekam pembicaran, alias of the record. Dia kemudian membeberkan sejumlah nama, termasuk seorang ketua umum partai politik, pengacara ternama dan pejabat di bidang penegakan hukum.
Polemik mengenai impor beras sempat mencuat baru-baru ini. Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik Budi Waseso berseteru dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Buwas geram kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Perang urat saraf Buwas vs Enggar bermula sejak Kemendag menyetujui izin impor beras sebesar 2 juta ton, tahun 2018. Jumlah ini dianggap Buwas terlalu banyak lantaran cadangan beras Bulog sampai sekarang mencapai 2,4 juta ton dan cukup mengisi perut rakyat Indonesia sampai Juni 2019.
Presiden Joko Widodo pda 10 Januari mengunjungi gudang milik Bulog di Kelapa Gading, Jakarta. "Awal tahun ini, persediaan beras kita benar-benar banyak. Biasanya di akhir Desember sekitar 700-800 ribu ton, sekarang stok kita 2,1 juta ton. Lebih dua kali lipat.
Stok beras sebesar ini dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan harga beras di pasaran, seperti operasi pasar yang dilakukan Bulog secara serentak di seluruh Indonesia mulai 3 Januari lalu yang efektif menjaga harga beras di tingkat masyarakat," tulis Presiden Jokowi melalui akun Facebook resmi.
Anggota DPR RI yang lama membidangi pangan, Firman Soebagyo mengatakan impor beras masih akan tetap berjalan meskipun di tengah musim panen lokal. "Masih, masih akan impor. Syahwatnya masing-masing beda. Jadi, yang memiliki syahwat tinggi untuk impor," kata Firman, politisi senior Partai Golkar.
Menurutnya, Perum Bulog memang sudah memberi pernyataan bahwa stok beras tercukupi. Kementerian Pertanian menyebutkan produksi beras akan surplus.
Walau demikian, masih ada pihak lain yang dinilai akan memiliki alasan untuk tetap melakukan impor. "Ya lihat saja nanti alasan musim penghujan, kebutuhan harus tercukupi dan lainnya. Ada nanti alasan lain lah untuk tetap impor," kata dia.
Sejatinya, impor tidak perlu terjadi apabila, Bulog dan Kementerian Pertanian sudah menyatakan stok mencukupi untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. Kendati demikian, sebagai politikus yang bergerak di bidang pangan, Firman mengatakan, tidak menutup kemungkinan impor bahan pokok termasuk beras, akan tetap berjalan. Kondisi tersebut terbukti dari setiap ajang pemilihan umum (Pemilu).
"Buktinya, setiap Pemilu itu pasti impor beras. Di balik impor itu pasti ada kepentingan. Entah itu fund raising atau apa pun. Itu ada," ungkapnya.
Terkait dugaan adanya mafia beras ini, sumber Tribun di Kementerian Pertanian membenarkan benar ada. Oleh ulah para mafia inilah, sehingga hukum pasar yang mengatur prinsip supply and demand (ketersediaan pasokan/penawaran dengan permintaan) menjadi tidak berlaku. Idelanya, jika pasokan meningkat (tetap), permintaan tetap (turun) maka harga akan turun. Sebaliknya, jika pasokan tetap (turun) tetapi permintaan meningkat, maka harga akan naik.
Dalam hal pasokan beras, idealnya, saat panen raya terjadi, pasokan beras memadai, maka tidak perlu impor. Faktanya, selain musim panen, impor beras juga berlangsung, sehingga komoditas berlebih, anehnya harga justru naik.
"Pasokan beras surplus, kondisi Januari sekitar 2,1 juta beras tersedia di gudang Bulog, tetapi harga di pasaran justru naik. Inilah permainan mafia; sehingga hukum supply and demand tidak berlaku untuk komoditas beras," ujarnya.
Sebagai informasi, Indonesia masih tercatat sebagai pengimpor beras. Total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton. Pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton.
Tidak Sepakat
Ditemui terpisah, mantan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso meragukan soal adanya mafia beras yang bermain di komoditas pangan utama ini. Menurutnya, para pelaku bisnis yang terjun di salah satu bahan pangan pokok ini jumlahnya banyak.
"Ratusan ribu loh jumlah pemain beras ini. Penggilingan saja ada 182 ribu di seluruh Indonesia, kecil dan besar," ujarnya kepada Tribun Network saat ditemui di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, Sabtu (8/2).
Sutarto tidak sependapat soal adanya istilah mafia yang disematkan kepada pebisnis beras yang memiliki jangkauan luas dan modal besar. "Yang besar-besar saja itu jumlahnya sekitar 2.000. Dan mereka itu saling bersaing satu sama lain," lanjutnya.
Sebagai orang yang mengabdi di Bulog selama kurang lebih 40 tahun, Sutarto justu melihat ada mafia melakukan aksinya di bahan-bahan pokok yang lain, seperti gula, garam, kedelai, dan gandum.
"Kedelai itu pemainnya lima, gula ada sekitar tujuh, gandum satu atau dua. Jadi pemain beras ini tidak cocok disebut mafia karena faktor jumlah tersebut," katanya.
Jika pun, dikatakan Sutarto, para pemain beras ini dikatakan mafia, saat terjadi kekurangan pasokan, maka harga beras akan terus bergerak. "Teori ekonomi saja patokannya. Supply and demand. Pasti balik lagi ke sana," imbuhnya.
Sutarto pun tak setuju soal adanya anggapan bahwa selama ini justru Bulog yang dituduh sebagai mafia beras sesungguhnya. Dirinya tak ragu untuk menentang anggapan keliru itu.
"Bulog itu tugasnya untuk menyeimbangkan dan menjaga stabilitas kebutuhan pokok negara, bukan memonopoli. Zaman sekarang enggak ada lagi istilah seperti itu, karena 90 persen beras yang mengedarkan pun para pengusaha beras. Bulog itu hanya 10 persen, itu pun sudah bisa menstabilkan harga," ujarnya.
Ia juga menolak anggapan Bulog sebagai mafia beras karena memang Bulog mewakili negara dalam hal apa pun terkait dengan kebutuhan barang pokok, termasuk beras.
"Bulog harus punya produksi dalam negeri supaya harga tidak jatuh pada saat panen raya atau pada saat produksi di bawah kebutuhan. Petani jadi tidak rugi dan jika saat produksi di bawah kebutuhan, Bulog bisa mengeluarkan stoknya, baik untuk operasi pasar, bencana alam, maupun bantuan pangan untuk masyarakat kurang mampu," kata Soetarto.
Bulog sebagai penyeimbang lain yang dimaksud Sutarto yakni bagaimana Bulog bisa melihat situasi di pasar, kapan harus menjadi pesaing, kapan harus menjadi mitra bagi para pemain beras.
"Pada saat pasar kurang, Bulog juga bisa memberikan operasi pasar kepada pelaku bisnis beras yang ada," ujarnya.
Sutarto menjabat sebagai Dirut Bulog periode 2009 hingga 2014. Saat itu, dia membuka seluas-luasnya keran bagi para pengusaha beras untuk dijadikan mitra Bulog. "Kita ajak semua untuk gabung jadi mitra, yang besar dan yang kecil. Jadi dengan itulah kita itu menutup kemungkinan soal adanya yang disebut tadi itu mafia beras," katanya.
Istilah 'Jaringan Semut' pun ia pakai untuk kebijakan tersebut, yang kemudian sebutan lain muncul kepada dirinya: Jenderal Semut. "Yang kecil-kecil itu boleh tanpa jaminan bank, tapi yang besar harus ada jaminan bank, karena kita harus memperlakukan pemain beras ini sesuai dengan kemampuannya masing-masing," katanya.
Harga Beras
Tribun Network memantau psar beras di Jakarta. Akhir tahun 2018 hingga awal tahun 2019, harga beras memang naik. Akhir Januari, harganya mulai turun. Subur, pedagang beras di Pasar Rawamangun, mengatakan beras yang dijualnya ke pembeli merupakan jenis premium.
Adapun harga yang dipatoknya yakni Rp 11.000 - Rp 12.000, padahal seperti diketahui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.450. Dia mengaku harga baeras sempat naik Rp 1.000 per kilogram.
"Di sini saya enggak jual beras medium. Ini juga harga beras naik dari Desember. Lumayan naiknya sampai Rp 1.000," ujar Subur.
Meski demikian, dikatakan Subur, harga beras yang dijualnya mulai turun pda awal akhit Januari Februari 2019, sebesar Rp 500. Penurunan tersebut tak diketahui Subur apa penyebabnya. "Saya ikuti harga pasar saja. Lagipula di sini yang beli rata-rata memang untuk menengah ke atas," kata Subur.
Uwi (45) pemilik usaha beras PD Sumber Mustika Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, menjelaskan memang pada akhir tahun 2018 harga beras premium berada di kisaran Rp 12.000.
"Tapi Januari ini harga beras mulai mengalami penurunan, sekitar Rp300-500. Jadi yang beras premium sekitar Rp11.700-11.500," kata Uwi. (tribun network/amryono prakoso/deni reza)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.