Komjen Pol Arief Buka-bukaan Soal Pemecatan 13 Taruna Akpol: Saya Melapor ke Kapolri
Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto buka-bukaan soal pemecatan 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol).
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto buka-bukaan soal pemecatan 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol).
Ia menyebut, pemberhentian dengan tidak hormat atau biasa dikenal PDTH terhadap 13 taruna terlebih dahulu dilaporkan ke Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
Hal ini menyusul putusan kasasi Mahkamah Agung yang juga menguatkan 13 taruna itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
"Saya melapor ke Kapolri saat rapim setelah dua hari menjabat Kalemdiklat," ujar Arief Sulistyanto saat wawancara eksklusif dengan Tribunjakarta.com di ruang kerjanya, Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Baca: Gilang Dirga Ternyata Lihai Tirukan Suara Presiden, Begini Reaksi Jokowi dan Iriana
Blak-blakan Arief Sulistyanto terkait 13 taruna ini juga disaksikan Analisa Kebijakan Lemdiklat, Brigjen Benny Setiawan dan mantan Kapolda Sumatera Utara Irjen Paulus Waterpauw.
Menurutnya, sikap kepolisian atas masalah 13 taruna itu mesti dilakukan demi memberi kepastian hukum.
Baca: Menteri Olimpiade Ditegur PM Jepang Gara-gara Komentarnya Terhadap Rikako Ikee yang Terkena Leukemia
"Kita berpedoman pada putusan hukum," kata Arief Sulistyanto seraya berharap semua pihak bisa memahami keputusan tersebut.
"Namun bila ada keberatan dan ada keinginan keluarga mencari keadilan bisa melakukan upaya hukum," papar Arief Sulistyanto.
Ia menjelaskan, upaya hukum yang bisa dilakukan keluarga adalah dengan melakukan peninjauan kembali.
Arief menegaskan, PK ini bisa memungkinkan 13 taruna akpol kembali ke korps Bhayangkara.
"Kalau menang di PK, mereka bisa kembali menjadi taruna Akpol," imbuh Arief Sulistyanto.
Arief Sulistyanto mengemukakan, kasus serupa pernah terjadi sebelumnya.
Saat itu, rekan mereka yang terlibat kasus pun dipecat.
Setelah menjani sejumlah upaya hukum, lanjut Arief, taruna akpol ini kembali menjadi polisi.
"Walaupun mesti tertinggal dua semester," paparnya.
Untuk diketahui, 13 taruna dinilai Mahkamah Agung bertanggung jawab atas penganiyaan yang menewaskan taruna tingkat II bernama Muhammad Adam pada 18 Mei 2017 silam.
Muhammad Adam tewas seusai dianiaya di sebuah gudang.
Ia meninggal karena ada luka di dada yang menyebabkan sesak nafas dan akhirnya tidak mendapat oksigen.
Satu pelaku yang diduga melakukan pemukulan langsung dipecat.
Sementara 13 pelaku lainnya menjalani sejumlah persidangan hingga akhirnya muncul putusan kasasi Mahkamah Agung.
Setelah ada putusan kasasi Mahkamah Agung, Gubernur Akpol Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel menggelar Sidang Dewan Akademik pada Senin (11/2/2019).
Sidang berlangsung mulai pukul 13.00 WIB hingga 23.30 WIB.
Hasilnya, MB, GJN, GCM, RLW, JEDP, RAP, IZPR, PDS, AKU, CAEW, RK, EA, dan HA diputuskan diberhentikan secara tidak hormat.
Sebelumnya, mereka semua sudah dikenakan tindak pidana dengan variasi hukuman yang berbeda sesuai peran masing-masing.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyambut baik keputusan tegas terkait nasib 13 taruna akpol yang terlibat penganiayaan.
Sebab, selama ini penanganan kasus penganiayaan di Akpol itu sering tertutup.
"Sikap tegas ini sebuah kemajuan. Selama ini penanganan kasus di Akpol cenderung tertutup. Baru kali ini penanganan kasus di Akpol sangat transparan," tutur Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, Selasa (12/2/2019) kemarin.
Neta mengatakan, dari 13 taruna tersebut, terdapat dua anak jenderal, tujuh anak kombes dan empat anak warga sipil sehingga ia mengapresiasi ketegasan Polri dalam mengambil keputusan itu.
Dari pantauan IPW, kata dia, semula keputusan pemecatan terhadap 13 Taruna Akpol itu berjalan alot.
Sidang Wanak Akpol terpaksa dilakukan selama dua hari, meski Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan tetap terhadap kasus itu.
Neta menyebut, alotnya keputusan itu karena adanya usulan hanya empat taruna yang dipecat sehingga memunculkan polemik.
"Bagaimanapun Akpol adalah lembaga pendidikan dan candradimuka tempat melahirkan kader kader Polri yang profesional, humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM," kata Neta.
Sebelumnya diberitakan, sembilan dari 14 terdakwa penganiayaan taruna Akpol mengajukan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (6/11/2017).
Dalam pledoinya, mereka meminta agar hakim membebaskan dari dakwaan dan tuntutan hukum.
Kuasa hukum terdakwa Junaedi mengatakan, kliennya tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pasal 170 ayat 1 KUHP.
Seluruh unsur dalam pasal yang didakwakan jaksa dinilai tidak cukup kuat untuk terjadinya perbuatan pidana.
Menurut dia, para terdakwa diproses di muka hukum atas laporan polisi tertanggal 17 Mei 2017.
Pihak pelapor yaitu pembina taruna.
Ia melaporkan adanya sebuah tindak pidana berupa kekerasan yang menyebabkan kematian Brigdatar Muhammad Adam, dengan terlapor salah satu taruna tingkat III dalam berkas terpisah.
Namun dalam perkara a quo, tidak ada korban yang meninggal.
"Antara para terdakwa juga tidak ada kerja sama, sehingga tidak ada unsur kekerasan dengan tenaga bersama," ujar Junaedi.
Junaedi membantah unsur kesengajaan dan dengan tenaga bersama dalam pasal tersebut.
Menurut dia, terdakwa tidak melakukan pemukulan secara serentak, dan tidak pula dilakukan secara bersama-sama.
Kegiatan pembinaan dilakukan face to face atau tidak dilakukan dengan tenaga bersama.
Pembinaan yang dilakukan, dengan cara terukur dan tidak menyakiti.
"Kalau iya (masuk pidana) itu tidak pidana ringan atau tipiring. Penganiayaan ringan, tapi berdasar asas ultrapetita terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana yang tidak dilakukannya," tambahnya.
Selain itu, 21 taruna tingkat II yang diposisikan sebagai korban juga tidak melaporkan kekerasan ke pihak kepolisian.
Karena itu, penasehat hukum mempertanyakan dasar pengusutan atas kliennya.
"Lalu atas dasar apa dilaporkan. 21 taruna itu mengaku bukan sebagai korban, tapi kegiatan itu bermanfaat sebagai bekal di kemudian hari menjadi polisi," tambahnya seperti ditulis Kompas.com.
Tim penasehat hukum juga memastikan kekerasan terhadap Brigdatar Muhammad Adam hingga ia meninggal dunia tidak dilakukan oleh kliennya.
"Ibu kandung (Adam) sudah memaafkan perbuatan taruna 3 dan tidak ingin taruna dihukum, tapi menyerahkannya ke Akpol tergantung dengan tingkat kesalahan," ucapnya.
• Ngaku Duda Terhormat Kriss Hatta Gombali Ayu Ting Ting, Singgung Raffi Ahmad
• Sempat Targetkan Omzet Sampai 10 Juta Saat Valentine, Pedagang Bunga Ini Justru Pesimis
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Joshua Evan Dwitya Pabisa, Broto Hastono menambahkan, tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hukuman 1,5 tahun tidak realistis.
Jaksa dinilai terlalu emosional dan memaksakan pendapat hukumnya.
"Tuntutan tinggi dipaksakan bahwa seolah terdakwa itu pelakunya. Apakah mereka lakukan perbuatan sesuai tuntutan atau tidak," ujarnya di depan hakim Casmaya.
Menurut dia, para terdakwa tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
Sebab terdakwa tidak ada niat jahat.
"Terdakwa merupakan siswa terpilih dimana kariernya harus diselamatkan. Pemberitaan yang berkembang tidak benar dan merusak nama baik terdakwa. Menghukum terdakwa berarti memutus pendidikan terdakwa," tuturnya.
"Minta dibebaskan dan dikembalikan lagi harkat dan martabatnya," pintanya lagi.
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Komjen Arief Sulistyanto Blak-blakan Soal Pemberhentian 13 Taruna Akpol, Begini Faktanya, http://jakarta.tribunnews.com/2019/02/13/komjen-arief-sulistyanto-blak-blakan-soal-pemberhentian-13-taruna-akpol-begini-faktanya?page=all.
Penulis: Dwi putra kesuma
Editor: ade mayasanto