Soal Restrukturisasi TNI, YLBHI Ingatkan 3 Dokumen Negara yang Menolak Dwi Fungsi ABRI
Tiga dokumen itu antara lain, TAP MPR RI No 10 tahun 1998, TAP MPR No 6 tahun 2000, dan TAP MPR No 7 tahun 2000.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menjelaskan tiga dokumen negara yang menolak Dwi Fungsi ABRI dalam acara pembacaan petisi Koalisi Masyarakat Sipil yang menolak Restrukturisasi TNI di kantor YLBHI, Menteng Jakarta Pusat pada Jumat (15/2/2019).
Tiga dokumen itu antara lain, TAP MPR RI No 10 tahun 1998, TAP MPR No 6 tahun 2000, dan TAP MPR No 7 tahun 2000.
Ia menilai, tiga dokumen negara itu ingin dilupakan dalam kaitannya dengan wacana akan dimasukannya perwira menengah dan perwira tinggi yang tidak memiliki jabatan struktural di TNI ke lembaga sipil yang tengah ramai dibincangkan belakangan ini.
Selain itu, ia menilai upaya tersebut juga berkaitan dengan kepentingan politik.
Baca: Momen Menggemaskan Kang Daniel yang Harus Dilihat Para Haters
"Tiga dokumen yang saya bacakan ini adalah sebetulnya yang akhir-akhir ini mau dilupakan. Dan tentu saja, bacaan kita ini persis karena politik lagi. Hanya karena politiklah kemudian fungsi TNI diperluas," kata Asfinawati.
Ia menjelaskan, TAP MPR No 10 tahun 1998 berisi tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara.
Meski tidak menjelaskan secara rinci, ia menjelaskan bagian politik dalam dokumen tersebut mengatakan penyesuaian Dwi Fungsi ABRI dengan paradigma baru, ABRI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masuk dalam prioritas keempat dalam upaya untuk menegakan kedaulatan rakyat karena terjadi krisis nasional di segala bidang.
"Secara sederhana dia mau mengatakan, kalau kita mau keluar dari krisis berbangsa di bidang politik dan menegakan kedaulatan rakyaylt maka Dwi Fungsi ABRI tidak bisa diteruskan," kata Asfinawati.
Asfinawati kemudian mengutip bagian menimbang pada dokumen kedua, yakni TAP MPR Nomor 6 tahun 2000.
"Dari dalam menimbang dikatakan begini, saya kutipkan, 'Bahwa peran sosial politik dalam Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat," kata Asfinawati.
Ia menegaskan, hal itu dikatakan oleh lembaga tertinggi negara pada saat itu yakni MPR dan bukan dari Koalisi Masyarakat Sipil.
"Ini bukan kata Imparsial, YLBHI, Pak Mochtar, Kontras, PBH Jakarta, Infid, dan lain-lain. Ini kata negara, lembaga tertinggi di Indonesia," kata Asfonawati.
Ia menjelaskan, dalam TAP MPR No 6 tahun 2000 pasal 2 ayat 1 dikatakan dikatakan bahwa TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara.
"Hanya itu, pertahanan negara, tidak ada yang lain," kata Asfinawati.
Selanjutnya, dalam konteks penggabungan polisi dengan TNI ia menyebut dokumen ketiga yakni TAP MPR No 7 tahun 2000 yang juga menegaskan TNI sebagai alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan.
Ia mengatakan, di sana dikatakan tugas pokok TNI di TAP MPR No 7 tahun 2000 yaitu menegakan kedaulatan rakyat, menegakan keutuhan wilayah, serta melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
"Jadi tidak bisa juga TNI melindungi kita, apabila tidak ada ancaman dan gangguan terhadap bangsa dan negara. Siapa yang melindungi? Ya polisi," kata Asfinawati.
Ia pun mengajak para hadirin untuk membayangkan jika para narasumber dari Koalisi Masyarakat Sipil yang berporfesi sebagai Pengacara, Peneliti, dan Pengamat juga memiliki fungsi pertahanan seperti TNI
"Coba bayangkan kalau kawan-kawan saya di depan ini dikaryakan, Dwi Fungsikan tidak hanya menjadi peneliti, pengamat, serta pengacara tapi juga melindungi negara ini dari perang. Tapi kami latihannya bukan untuk itu. Dalam benak saya pasti dalam waktu singkat negara kita sudah diambil karena tidak punya professionalitas," kata Asfinawati.
Dalam penjelasannya, ia pun mengatakan perbedaan antara fungsi polisi dan TNI dalam kaitannya menjaga keamanan masyarakat dengan melihat sejarah ketika polisi dipisahkan dari ABRI.
Itu karena menurutnya, kedua lembaga itu memiliki fungsi yang sangat berbeda dengan karakter personel yang juga berbeda.
Ia pun mencontohkan situasi di negara lain.
"Di negara lain, ketika ada tentara harus perang ke luar negeri, dia harus disipilkan dalam arti dia harus mendapat pendampingan psikologis supaya tidak menganggap ini masih perang yang sama. Ini semua adalah orang yang bisa ditembak. Karena psikologis kita akan terganggu. Orang-orang yang memang dilatih agar mentalnya kuat untuk menembak, siaga, menusuk dan lain-lain. Memang bukan perannya untuk nerada di wilayah sipil," kata Asfinawati.