Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Tanggung Jawab Lintas Sektor
UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur kewajiban pemerintah daerah menyelenggarakan layanan kepada penyandang disabilitas
Editor: Content Writer
Penyelenggaraan layanan terhadap penyandang disabilitas hakekatnya merupakan tanggung jawab lintas sektor.
UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur kewajiban pemerintah daerah menyelenggarakan layanan kepada penyandang disabilitas sekaligus sanksi bila tidak memenuhi kewajiban.
“Pada Pasal 43 UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan tegas mengatur peran pemerintah daerah. Misalnya, diatur tentang kewajiban Pemerintah Daerah memfasilitasi lembaga penyelenggara pendidikan dalam menyediakan Akomodasi yang Layak. Dan diatur pula sanksi bila tidak memenuhi kewajiban,” kata Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Rachmat Koesnadi saat menerima aspirasi para penyandang disabilitas sensorik netra di kantor Kemensos RI, Senin (04/02/2019).
Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Rachmat Koesnadi menyatakan, UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan, pengelolaan layanan dasar penyandang disabilitas merupakan kewenangan daerah yang diselenggarakan melalui panti.
"Dapat kami pastikan, bahwa Kemensos tetap akan melanjutkan layanan lanjut di balai seperti pendidikan, pelatihan, dan layanan lain untuk penyandang disabilitas.Tidak ada ketentuan dalam Permensos No. 18/2018 yang membatasi layanan terhadap mereka," kata Direktur Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Rachmat Koesnadi di Jakarta, Senin (04/03/2019).
Pernyataan Rachmat menanggapi aspirasi para penerima manfaat dari Balai Wiyata Guna dan sejumlah balai yang datang ke Kementerian Sosial.
Sebanyak sekitar 50 orang yang mengatasnamakan diri Himpunan Disabilitas Netra Indonesia hadir di kantor Kementerian Sosial. Mereka mengemukakan aspirasi tentang layanan di balai di bawah pengelolaan Kemensos.
"Untuk durasi layanan juga tidak disebutkan dalam permensos. Estimasi waktu enam bulan, juga bukan harga mati," kata Rachmat.
Namun demikian, kata Rachmat, layanan disabilitas tidak bisa terlalu lama. "Setidaknya ada empat argumentasi mengapa waktu layanan di balai harus ditentukan batas waktunya," kata Rachmat.
Pertama, konsep rehabilitasi sosial harus berbatas waktu. Tidak boleh terlalu lama. Karena akan menyebabkan ketergantungan dan beban anggaran negara," kata Rachmat.
Kedua, pembatasan waktu juga dengan pertimbangan untuk memperbanyak jumlah PM. "Selama ini balai-balai milik Kemensos hanya mampu melayani sekitar 100 orang per tahun. Artinya banyak disabilitas sensorik netra lainnya yang tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan layanan rehabilitasi sosial," kata Rachmat.
Ketiga, dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa layanan dasar dalam panti sosial merupakan tugas pemerintah daerah provinsi.
Kemudian, yang keempat, berdasarkan ketetapan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) dan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan bahwa sesuai dengan regulasinya, layanan balai rehabilitasi sosial harus berbeda dengan layanan dasar dalam panti sosial.
"Hal ini sudah diatur oleh PP No. 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM). Bapenas dan DJA bahwa alokasi anggaran diberikan sesuai dengan tugas fungsi dan kewenangannya. Artinya alokasi layanan dasar diberikan kepada panti sosial di daerah dan alokasi layanan rehabilitasi sosial lanjut diberikan kepada balai rehabilitasi sosial pusat,” kata Rahmat.