DPR Minta Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Tenaga Honorer Dikelola BPJS
“Peraturan pemerintah ini secara good governance menunjukan sebuah langkah kemunduran regulasi,” kata Dadan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria menilai tenaga honorer harus mendapatkan jaminan sosial, sehingga pemerintah harus memastikan mereka mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan tenaga kerja.
"Negara bertanggung jawab memberikan jaminan sosial bagi tenaga honorer. Kita memiliki 439 ribu tenaga honorer yang belum diangkat, bahkan dimoratorium," kata Riza Patria, dalam diskusi bertajuk Transformasi Kebijakan dan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk ASN dan Non-ASN, di Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Dia menilai selama ini tenaga honorer belum mendapatkan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan dari pemerintah, sehingga butuh perhatian khusus dalam persoalan tersebut.
Baca: Nota Kesepahaman Antara KPK-BPJS Ketenagakerjaan
Menurut dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN seharusnya digunakan untuk kepentingan riil seperti memberikan jaminan sosial kepada tenaga honorer.
"Kalau pemerintah gencar dengan pembangunan infrastruktur, ada warga negara yang berjasa belasan tahun namun masih tetap menjadi tenaga honorer. Butuh perhatian bagi tenaga honorer," ujarnya lagi.
Selain itu, dia menyoroti aturan UU BPJS Ketenagakerjaan terkait jaminan kematian dan hari tua, sehingga tidak boleh ada lembaga selain BPJS yang memberikan jaminan tersebut.
Baca: Ditangkap Atas Dugaan Hina ABRI, Masa Lalu Robertus Robet Dibongkar Fahri Hamzah: Lawan yang Berat
Dia menekankan bahwa selain BPJS tidak ada lembaga yang memberikan jaminan sosial, apalagi diberikan kepada Perseroan Terbatas (PT) yang tujuannya hanya untuk meraih keuntungan.
"Jaminan sosial tidak bisa bersifat 'profit' atau hanya ambil keuntungan, karena ini bagian dari tanggung jawab pemerintah," katanya pula.
Nurmansyah E Tanjung, Anggota Komisi IX DPR RI dari FPDIP menjelaskan terkait ASN sesuai UU No 5 Tahun 2014 seharusnya menjadi tanggung jawab negara dimana BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola program jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan pensiun (JP).
Masalahnya saat ini pengelola program jaminan sosial ketenagakerjaan untuk ASN dan Non ASN adalah PT Taspen dan PT Asabri.
“Keduanya merupakan perusahaan BUMN yang bersifat profit motif, ini bertentangan dengan prinsip jaminan sosial dalam UU SJSN dan UU BPJS,” kata Nurmansyah.
Nurmansyah menambahkan bahwa pemerintah sudah seharusnya menjalankan tahapan pengalihan program PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan agar tidak bias orientasi dan efektif pengawasannya.
“Saya yakin Presiden Jokowi akan segera menjalankan tahapan pengalihan program PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Dadan S Suharmawijaya dari Ombudsman RI mengatakan bahwa status regulasi UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, dan UU No 5 Tentang ASN sudah setara dengan format regulasi yang partisipatif, kolaboratif, dan inklusif.
Hal ini berbeda dengan PP No. 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara, PP 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PP 70 Tahun 2015, dan PP 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, yaitu untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), PPPK, dan Honorer dikelola oleh Taspen.
PP tersebut memiliki muatan reinventing government, kompetitif, wirausaha, bervisi tujuan memuaskan pelanggan dan tidak menunjukkan sebagai sebuah pola aturan regulatif.
“Peraturan pemerintah ini secara good governance menunjukan sebuah langkah kemunduran regulasi,” kata Dadan.
Subiyanto, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) RI yang turut hadir dalam diskusi itu mengatakan bahwa pemerintah melalui terbtnya keempat PP tersebut menunjukkan indikasi adanya upaya yang tidak sejalan dengan pengalihan program PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagaimana yang digariskan dalam UU No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS yang memberikan limit waktu pengalihan program jaminan sosial ketenagakerjaan antarlembaga tersebut paling lambat tahun 2029.
“Memang ada indikasi akan dilakukan revisi UU BPJS tersebut yang tidak lagi memuat pengalihan program jaminan sosial dimaksud, bisa jadi program PT Taspen dan PT Asabri tidak jadi alihkan ke BPJS Ketenagakerjaan, toh itukan paling lambat tahun 2029, sebelumnya kan masih ada kemungkinan revisi UU BPJS yang justeru berbeda dengan yang digariskan UU BPJS sekarang,” katanya.
Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (MP BPJS) Hery Susanto mengkritisi adanya empat peraturan pemerintah (PP) yang diberlakukan Pemerintahan Jokowi di bidang jaminan sosial ketenagakerjaan.
PP yang dipersoalkan Heri adalah PP 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara, PP 66/2017 tentang Perubahan atas PP 70/2015, dan PP 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, di mana untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), PPPK, dan Honorer dikelola oleh Taspen.
Sedangkan untuk anggota TNI, polisi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) termasuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)-nya dikelola oleh ASABRI berdasarkan PP 102/2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit TNI, Anggota Polri, dan Pegawai ASN di Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Empat PP tersebut telah melanggar UU SJSN, UU BPJS dan UU ASN," kata Hery.
Bagaimana tidak, lanjutnya, UU 24/2011 tentang BPJS sendiri telah menegaskan bahwa pengelolaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) sebagai kewenangan dari BPJS Ketenagakerjaan.
"Ini kan sama saja mobil yang sudah maju disuruh balik ke kanan lagi. Apalagi iuran Taspen dan ASABRI lebih besar dari BPJS Ketenagakerjaan," tekannya.
Padahal mestinya, lanjut Hery, Jokowi sebagai pemimpin negara ini menjalankan undang-undang dengan semestinya. Yakni berupaya untuk mengalihkan program jaminan sosial PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan yang paling lambat 2029.
"Paling lambat tahun 2029, bahasa paling lambat itu artinya batasnya tahun 2029. Bukan berarti harus tunggu tahun 2029 dulu," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.