Effendi Ghazali: MK Memang Tidak Bisa Membuat Undang-undang, Tapi Bisa Mencegah Bangsa Ini Terbelah
Effendi Ghazali mengatakan seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mencegah masyarakat terbelah dengan dihilangkannya Presidential Threshold.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Effendi Ghazali mengatakan seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mencegah masyarakat terbelah.
Sebelumnya Effendi Ghazali menjadi pengaju Pemilu Serentak di Mahkamah Konstitusi.
Apa yang dikatakannya merujuk pada putusan MK yang mengesahkan adanya Presidential Threshold untuk Pilpres 2019.
"Itulah inti permohonan kami. Kami ingin banyak capres agar bangsa tidak terbelah. MK memang tidak bisa membuat undang-undang. Tetapi, MK bisa mencegah bangsa ini terbelah," kata Effendi Ghazali saat dihubungi, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Baca: Pengamat: Masih Jauh PAN Akan Bergabung dengan Koalisi Jokowi
Menjadi sebuah konsekuensi apabila capres-cawapres hanya dua pasangan calon, bangsa akan terpecah belah.
Penyelenggara Pemilu hanya akan sibuk mengurus soal konflik dan hoax.
Baca: Empat Remaja Diamankan Terkait Aksi Pencurian Sepeda Motor di Aceh Tengah, Satu Jadi Tersangka
"Rakyat harus tahu, ini Pemilu yang kami mintakan," katanya.
"Kami sudah minta MK dan pembentuk undang-undang yang tanggung jawab atas kekacauan ini," tambah dia.
Geram
Pemohon gugatan nomor 54/PUU-XVI/2018 di Mahkamah Konstitusi, Effendi Gazali sedari awal sidang sudah tampak bertentangan dengan hakim konstitusi.
Di awal sidang, dia sudah meminta sikap dari hakim atas surat yang dilayangkan sebelumnya.
Surat itu berisi agar pembacaan putusan untuk gugatannya tidak dibacakan secara bersamaan dengan lima gugatan lainnya tentang UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kami tidak mau trauma kami kembali terulang seperti pada saat putusan MK sebelumnya tentang Pasal 222 undang-undang Pemilu," ucapnya saat sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Kegeraman berlanjut usai mendengarkan putusan Hakim Konstitusi yang menolak seluruh dalil permohonannya. Dia menolak diwawancarai terlebih dahulu sebelum semua wartawan yang meliput di MK saat itu berkumpul semuanya.
"Kumpul dulu semuanya, saya tidak akan bicara ini lagi dan tidak ada tanya jawab," kata dia sembari menunggu.
Baca: Kenapa Kamu Harus Pakai Hak Pilihmu di Pemilu Serentak 2019
Suaranya mulai meninggi ketika dirinya menjelaskan semua pertimbangan hakim konstitusi tidak masuk akal dan dinilai sudah melakukan pembohongan publik. Bahkan, tak segan dia melontarkan kata "sontoloyo" kepada hakim usai persidangan.
"Seluruh pertimbangan hakim enggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sotoloyo. Cocok dengan pernyataan presiden, telah dilakukan oleh hakim MK ini kebohongan publik dan sontoloyo," kata dia dengan suara meninggi.
Matanya masih terlihat memerah, bibirnya gemetar, jemari tangannya menunjuk ke arah wartawan. Dia menegaskan menolak bertanggung jawab atas kekacauan yang dinilai akan terjadi pada saat pemilu serentak 2019 mendatang. Pasalnya, dirinya sudah berupaya untuk mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.
"Kalau Pemilu serentak ini menjadi yang paling kacau, maka bukan salah saya Effendi Ghazali, tapi salah pembentuk undang-undang dan hakim MK," tegasnya.
Baca: Bos Ducati dan Legenda MotoGP Ini Sehati Soal Cara Taklukan Marc Marquez
Pakar Komunikasi Politik itu juga mengaku menyesal ketika dirinya sempat menjadi salah satu pemohon agar Pemilu di Indonesia menjadi serentak seperti saat ini.
"Pemilu serentak ini, dulu saya yang mengajukan. Dengan adanya presidential threshold seperti ini menyesatkan. Sebaiknya kembalikan lagi saja seperti Pemilu sebelumnya. DPR dulu kemudian presiden," tegasnya.
"Lima tahun ke depan, bangsa kita ini akan terus berkelahi, terbelah, di sana sini ada penghadangan, kebohongan, kebencian karena ada PT tadi. Sehingga calonnya hanya tinggal dua dan yang luar biasa, karena pembentuk undang-undang dan hakim MK," tukasnya.
'Kematian' Demokrasi
Wasekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materiil ambang batas capres atau presidential threshold (PT) dalam UU Pemilu.
"Menurut hemat saya, putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi dan akal sehat," katanya saat dihubungi.
Dia menilai ke depan, hanya partai-partai besar saja yang punya peluang untuk dapatkan posisi Presiden. Sementara partai menengah apalagi partai kecil hanya akan jadi sekadar penggembira. "Partai baru lebih parah lagi, muncul sebentar selanjutnya bisa langsung hilang," lanjutnya.
Oleh karenanya kelak, partai-partai kecil, atau partai yang baru akan tersapu habis oleh sistem yang seperti ini.
"Pupus sudah harapan para pencinta demokrasi yangg agar MK bisa merevisi UU yang jelas-jelas telah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Benteng terakhir konstitusi telah runtuh," tandasnya.
Politikus dari Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, meyakini semua gugatan ambang batas presiden atau Presidential Treshold (PT) pasti ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Keyakinannya itu didasari bahwa PT sangat penting dalam konteks sistem demokrasi Indonesia. Ia melihat sistem demokrasi Indonesia berpijak di atas sistem presidensial multipartai.
"Sistem presidensial multipartai ini sendiri sudah sangat sukar dilaksanakan. Dalam praktek di negara lain, seperti di Amerika Latin, sistem presidensial selalu berantakan karena terjadi pertarungan antara legislatif dan eksekutif," ujar Teuku, Kamis (25/10/2018).
Dalam sistem presidensial, kata dia, tidak ada way out (jalan keluar) jika terjadi stuck antara eksekutif dan legislatif. Sementara dalam sistem parlemen ada jalan keluar yaitu dengan mekanisme mosi tidak percaya.
"Alhamdulillah, ini tidak terjadi di Indonesia, karena antara legislatif dan eksekutif Indonesia ada pembagian tugas yg tidak saling menegasi," imbuhnya.
Yang kedua, dalam sistem presidensial Indonesia ia menyebut tidak adanya koalisi permanen. Jika tidak ada koalisi permanen, maka berpotensi munculnya pemerintah yang tidak stabil.
Maka untuk mengatasi persoalan absen koalisi permanen ini, Teuku mengatakan Indonesia membentuk UU yang menetapkan PT cukup besar. Alasannya, agar pemerintah terjaga stabilitasnya.
"Jadi gugatan terhadap PT 20 persen itu adalah karena tidak paham persoalan. Jadi keputusan MK sangatlah tepat. Keputusan MK itu untuk menjaga sebuah pemerintah tetap stabil dan kuat legitimasinya," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Gugatan yang dimaksud, yakni, gugatan nomor 50/PUU-XVI/2018 oleh Nugroho Prasetyo, 54/PUU-XVI/2018 oleh Effendi Gazali dan Reza Indragiri Amriel, 58/PUU-XVI/2018 oleh Muhammad Dandy, 61/PUU-XVI/2018 oleh Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen, serta 49/PUU-XVI/2018 oleh Muhammad Busyro Muqoddas dkk.
Baca: Kabar Terbaru Marko Simic, Kepulangan Tertunda, Sang Bomber Persija Ungkap Kerinduan
"Menolak semua dalil permohonan secara keseluruhan," jelas Ketua Hakim Konstitusi, Anwar Usman di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Dirinya menjelaskan alasan majelis menolak permohonan gugatan terkait ambang batas ini berkaitan dengan argumentasi para pemohon terkait penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu.
Padahal hal ini telah dipertimbangkan oleh Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan kemudian dielaborasi lebih jauh dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017.
Hakim juga menilai argumentasi para pemohon yang menyebut Pasal 222 UU Pemilu seharusnya tidak mengatur "syarat" capres karena Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya mendelegasikan "tata cara"-nya justru telah dibantah oleh putusan Mahkamah 51-52-59/PUU-VI/2008.
MK juga menilai syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebelum pemilihan umum presiden, merupakan dukungan awal, sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
"Maka dengan ini menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar.