Menurut Kapolri, People Power untuk Gulingkan Pemerintah adalah Tindakan Makar
Pemilihan Umum 2019 sudah berlangsung pada 17 April lalu, namun suhu politik justru memanas.
Editor: Hasanudin Aco
Bintara Pembina Desa (Babinsa) dikerahkan untuk mengajak masyarakat untuk menyadari perbedaan pilihan dalam politik itu merupakan hal yang lumrah dan tidak harus saling memusuhi.
Hadi telah pula memerintahkan semua satuan TNI untuk melakukan deteksi dini, cegah dini, temu cepat dan lapor cepat setiap perkembangan situasi terhadap hal-hal yang menonjol yang terjadi di wilayah masing-masing.
TNI bersama Polri juga berpatroli untuk menjaga ketertiban dan keaamanan di semua wilayah.
BIN Usulkan Hitung Suara Pemilih Secara Elektronik
Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Teddy Lhaksmana mengusulkan dalam pemilihan umum mendatang perlu dipertimbangkan penggunaan sistem rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik dengan tingkat pengamanan siber yang tinggi.
Selain menghemat biaya, hal ini juga mengurangi beban pengisian beragam formulir yang terlalu banyak, dan hasil penghitungan suara lebih cepat disajikan.
Teddy menyebutkan BIN juga melihat ada indikasi kelompok-kelompok radikal yang ingin memanfaatkan momentum Pemilihan Umum 2019 untuk melaksanakan serangan teror.
"Potensi ancaman teror dari kelompok radikal yang ingin memanfaatkan memomentum Pemilu 2019 perlu terus diwaspadai dan sampai dengan saat ini BIn telah melakukan pemetaan indeks kerawanan sejumlah wilayah," tutur Teddy.
Namun Teddy tidak menyebutkan wilayah-wilayah mana saja rawan konflik sehabis pelaksanaan Pemilihan Umum dan penetapan hasil resminya pada 22 Mei.
BIN berharap semua pihak dapat mengikuti semua proses pemilu dengan baik hingga penetapan hasil oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei mendatang. Jika ada ketidakpuasan, dapat disalurkan melalui ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Delegitimasi Pemilu Dinilai Bahayakan Demokrasi
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan delegitimasi pemilu tidak boleh terjadi karena akan sangat membahayakan demokrasi di Indonesia. Yang dirugikan dari upaya ini tambahnya adalah seluruh warga Indonesia.
Apabila ada ketidakpuasan pada hasil pemilu atau menemukan pelanggaran pada pesta demokrasi maka lanjut Riawan bisa mengajukan upaya pengajuan pemeriksaan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi dalam batas waktu 3x24 jam sejak pengumuman resmi oleh KPU.
“Yang jelas mereka (MK) akan menilai apakah perbedaan suara signifikan yang menyebabkan bukti-bukti adanya pelanggaran pemilu yang bersifat struktur, masif dan sistematis. Kalau itu terjadi nanti MK akan menyatakan bahwa pemilu di daerah atau wilayah tertentu harus diulang,” tambah Riawan.