Fadli Zon Ingatkan Pemerintah Hati-hati Berurusan dengan Proyek OBOR China
Menurutnya proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan Cina yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR (One Belt One Road) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI), antara sejumlah pebisnis Indonesia dan Cina dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019 silam.
Menurutnya proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan Cina yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim.
"Meskipun kemudian istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat,"katanya, Senin, (13/5/2019).
Fadli mengatakan inisiatif BRI dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi Cina dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.
Baca: Pemerintahan Mendatang Diminta Tak Tempatkan Terduga Pelanggar HAM 1998 Masuk Kabinet
Apalagi, kata Fadli, Indonesia memiliki pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar Cina masuk ke Indonesia.
"Kita tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru. Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional,"katanya.
Fadli mengatakan terdapat beberapa alasan mengapa nota kesepahaman OBOR atau BRI perlu ditinjau ulang. Pertama, kerjasama tersebut tidaklah gratis, meski disebut kerjasama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G). Proyek-proyek tersebut mensyaratkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Cina, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari Cina. Nilai tambah kerjasama ini hanya menguntungkan Cina.
Kedua, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya. Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan Cina.
"Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing,"katanya.
Baca: Polisi Ungkap Kronologi Ditemukannya Mayat Wanita Tak Berbusana dengan Tangan dan Kaki Terikat Tali
Baca: Polisi Geledah Rumah HS, Benda Ini Kemudian Ditemukan di Kediaman Pengancam Jokowi Tersebut
Faldli menambahkan selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang Cina, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan dan Tajikistan.
Sejauh ini Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai US$62 miliar, atau sekitar Rp900 triliun. Pemerintah Cina mengambil 80 persen dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik.
Penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan Cina juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohammad.
Menurut Fadli, mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp225 triliun.
Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp151 triliun saja.
" Kita berharap Pemerintah juga berani memberikan tekanan serupa kepada Cina, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh Cina," katanya.
Selain itu Fadli mencontohkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, komitmen awal yakni pembangunan dilakukan dengan skema B to B.
Belakangan, sesudah proyek tersebut didapat, Cina menuntut pemerintah Indonesia memberikan jaminan keuangan.
"Ini kan tak benar. Jangan sampai hal-hal semacam itu terulang lagi pada kasus dan proyek yang lain," katanya.
Fadli memaparkan, utang Indonesia ke Cina tidak bisa dianggap kecil.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$17,7 miliar, atau setara Rp248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.
Dari jumlah tersebut, yang dikelola Pemerintah sebesar Rp22,8 triliun, sementara sisanya, sebesar Rp225,6 triliun, dikelola oleh swasta.
Perlu diketahui, dalam pencatatan data utang, utang BUMN kita dicatatkan sebagai utang swasta.
"Sekali lagi, kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC. Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite," pungkansya.