Kota Tangerang Selatan Rawan Kecurangan Penghitungan Suara Pemilu
Amin menyebut Kota Tangsel termasuk kota dengan tingkat kerawanan tinggi soal penghitungan suara dalam pemilu
Penulis: Reza Deni
Editor: Deodatus Pradipto
Laporan wartawan Tribun Network Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amin, anggota panitia pengawas kecamatan (panwascam) di sebuah kecamatan di Kota Tangerang Selatan, menyalakan ponselnya. Amin menunjukkan beberapa pesan masuk lewat aplikasi WhatsApp miliknya. Ada beberapa pesan yang sudah dibaca dan dibalas di sana, sebagian lainnya belum.
"Ini banyak laporan masuk. Macam-macam, ada yang lapor soal bagi-bagi uang, kerja sama dengan PPK, jual beli suara," kata Amin kepada Tribun Network saat ditemui di lokasi, Kamis (16/5).
Dari semua laporan itu, Amin menyebut semuanya hanya jadi info sesaat. Alasannya ada banyak kata Amin.
"Ada yang takut. Maksudnya mereka cuma kasih info. Giliran diinvestigasi, ditanyai, diverifikasi, yang terlapor dipanggil, ya mereka takut karena mungkin yang dilaporkan saudara mereka juga, orang yang mereka kenal juga. Bahkan ada yang melapor ke kami, tapi dia juga yang melakukan," tuturnya.
Dari pengalamannya selama hampir tiga pemilihan umum atau 15 tahun menjadi panwascam, Amin akrab dengan istilah-istilah yang kerap kali digunakan para oknum yang melakukan jual-beli suara.
"Sebagai pengawas kita memang harus ada praduga terhadap sesuatu, kita lihat kesalahannya. Tidak bisa kita melihat di TPS atau rekap tingkat kelurahan di sini baik-baik saja. Istilah hantam atau ngebom. Itu biasanya yang dipakai buat transaksi," ujarnya.
Baca: Situng KPU Cegah Kecurangan Pileg 2019
Amin menyebut Kota Tangsel termasuk kota dengan tingkat kerawanan tinggi soal penghitungan suara dalam pemilu. Terlebih soal dugaan praktik jual-beli suara di ranah para calon anggota legislatif.
Menurut Amin dugaan jual beli suara itu layaknya benang kusut yang hendak diurai tetapi sulit untuk dibuktikan. Dirinya menyebut sejumlah tempat yang rawan terjadi praktik-praktik demikian.
"Biasanya terjadi di beberapa kelurahan yang menjadi basis dari caleg tertentu, yang incumbent itu karena dia massanya banyak. Kami juga sulit untuk mengakses hal-hal internal partai seperti itu," kata Amin.
Akan tetapi, Amin mengatakan ada perbedaan mencolok dalam fenomena jual-beli suara antara pemilu tahun 2019 ini dengan lima tahun yang lalu. Menurut Amin praktik jual-beli suara pada pemilu 2014 lebih parah dibandingkan pada pemilu tahun ini.
"Di tahun 2014 itu parah sekali, lebih parah dari tahun ini. Teknologi masih seadanya, ponsel belum secanggih sekarang. Dugaan saya mereka-mereka ini mainnya gampang saat itu, lebih leluasa," lanjutnya.
Amin menegaskan bukan berarti pada 2019 tak ada indikasi ke arah sana. Celahnya, dikatakan Amin, menjadi lebih kecil bagi para oknum jual beli suara untuk beraksi.
Baca: Eksklusif Tribun: Caleg Belanja Suara di Kecamatan. Bayar Rp5-10 Juta Per Kepala
Dia mencontohkan dengan peristiwa di kelurahan yang diawasinya. Seingat Amin, ada dua TPS yang dilakukan PSU karena terbukti ada pelanggaran.
"Ya permasalahannya para saksi itu kebanyakan tidak megang C1. Hanya PKS yang punya form C1 lengkap. Yang rawan dimainkan ya di situ," katanya.
Namun hingga saat ini, dirinya dan beberapa panwascam lain di Kota Tangsel belum menemukan adanya fakta soal praktik jual-beli suara baik di tingkat kecamatan hingga kelurahan.
Semuanya, dikatakan Amin, hanya mentah lewat kabar dan pesan berantai.
"Kalau memang ada, ya tinggal lapor. Nanti kami inevstigasi jika memang lengkap bukti-buktinya," pungkas Amin.