Mahasiswa se-Indonesia Kutuk Aksi Kerusuhan Massa 22 Mei, Tuding Cendana Jadi Dalang
Aksi kelompok pendukung Prabowo Subianto tersebut betul-betul berubah menjadi anarkhis jalanan.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi menolak hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 oleh mereka yang menamakan diri 'gerakan nasional kedaulatan rakyat' pada hari Senin malam, (21/5/2019) telah berkembang menjadi kerusuhan massa.
Kerusuhan berlanjut pada Selasa dini hari, 22 Mei 2019 hingga malam hari.
Aksi kelompok pendukung Prabowo Subianto tersebut betul-betul berubah menjadi anarkhis jalanan.
Massa yang menolak pembubaran aksi, mengamuk dan membakar puluhan kendaraan roda empat yang diparkir di Markas Brimob, Petamburan, Jakarta Barat.
Menyikapi hal itu, Pengurus Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus se-Indonesia mengutuk keras aksi kekerasan dan kerusuhan yang sedang terjadi di Jakarta.
Sebab, pernyataan Titiek Soeharto sebagaimana disampaikan di dalam video yang viral di media sosial, bahwa aksi akan berlangsung damai tidak terbukti.
"Hal ini menguatkan dugaan, bahwa aksi damai yang diserukan politisi Cendana itu hanya kamuflase belaka," kata Juru Bicara Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus se-Indonesia Jeprie di Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Jeprie juga menyampaikan, sejak beberapa hari terakhir telah beredar seruan di media sosial agar mereka yang mau mengikuti aksi membawa benda dan senjata yang bisa digunakan untuk melakukan kekerasan.
Baca: Rencanakan Jihad di Aksi 22 Mei, Polisi Tangkap 2 Anggota GARIS yang Dukung ISIS
Sungguh, kata Jeprie, kejadian kerusuhan itu telah menghapus citra masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan santun oleh masyarakat dunia.
Perilaku anarkhi tersebut juga menunjukkan kepatuhan para pelaku kepada hukum telah berada pada titik nadir.
Padahal kepercayaan pada hukum sangat penting untuk menjaga ketertiban sosial, dan menjamin rasa aman, serta untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat.
"Menyerukan kepada semua pihak menjaga persatuan dan keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dan semua pihak menghentikan aksi kekerasan dan kerusuhan yang sedang terjadi," jelas Jeprie.
Jeprie juga mengatakan, langkah penolakan hasil perhitungan suara Pilpres pada Senin malam, 20 Mei 2019, yang diikuti aksi demonstrasi anarkhi oleh “g-n-k-r” di satu pihak merupakan upaya delegitimasi terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak lain juga mengabaikan asas rechtsstaat yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebab sebagai institusi demokrasi penyelenggara Pemilu, KPU RI telah bekerja secara independen berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Untuk itu, pihaknya meminta aparat segera menindak dalang kerusahan tersebut.
Sementara itu, peryataan itu merupakan sikap 9 perwakilan kampus yg hadir antara lain; UMT, UKI, UKRIDA, GUNADARMA, UNPAM, UBK, STPI, STEI dan UNINDRA.